Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi Sri Lanka Terkini, Perantau Diminta Kirim Uang untuk Beli BBM

Kompas.com - 04/07/2022, 15:34 WIB
Aditya Jaya Iswara

Penulis

COLOMBO, KOMPAS.com - Kondisi Sri Lanka terkini pada Minggu (3/7/2022), Menteri Energi meminta para perantau di luar negeri mengirim uang ke rumah melalui bank untuk membeli BBM.

Akibat Sri Lanka krisis BBM, penutupan sekolah diperpanjang selama satu minggu dan kendaraan pribadi dilarang membeli bensin.

BBM Sri Lanka saat ini hanya disediakan untuk layanan utama seperti sektor kesehatan, pelabuhan, transportasi umum, dan distribusi makanan.

Baca juga: Sri Lanka Kesulitan Bayar Minyak, Stok BBM Hanya Bertahan Sehari

Kondisi Sri Lanka juga memburuk karena tidak ada pemasok yang mau menjual bahan bakar secara kredit

“Mencari uang adalah sebuah tantangan. Ini tantangan besar,” kata Menteri Tenaga dan Energi Sri Lanka Kanchana Wijesekera dikutip dari Associated Press, Senin (4/7/2022).

Lebih lanjut dia memaparkan, pemerintah telah memesan stok bahan bakar baru dan kapal pengiriman pertama yang diperkirakan tiba membawa 40.000 metrik ton solar pada Jumat (8/7/2022), sementara kapal pertama yang membawa bensin akan datang pada 22 Juli.

Beberapa pengiriman bahan bakar lainnya sedang dalam proses. Namun, dia mengatakan bahwa pemerintah masih berusaha mendapatkan uang 587 juta dollar AS (Rp 8,78 triliun) untuk membayar BBM.

Wijesekera menambahkan, Sri Lanka berutang sekitar 800 juta dollar AS (Rp 11,97 triliun) kepada tujuh pemasok bahan bakar.

Dampak krisis Sri Lanka, antrean warga mengular untuk membeli minyak tanah di luar SPBU ibu kota Colombo, Minggu (5/6/2022).AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA Dampak krisis Sri Lanka, antrean warga mengular untuk membeli minyak tanah di luar SPBU ibu kota Colombo, Minggu (5/6/2022).
Bulan lalu sekolah di seluruh negeri ditutup sehari karena Sri Lanka krisis BBM, dan khusus untuk daerah perkotaan tetap ditutup selama dua minggu terakhir.

Pihak berwenang juga mengumumkan pemadaman listrik di seluruh negeri hingga tiga jam sehari mulai Senin (4/7/2022), karena tidak dapat memasok bahan bakar yang cukup ke pembangkit listrik.

Pemadaman listrik merupakan bencana bagi perekonomian Sri Lanka selama berbulan-bulan, bersama dengan kekurangan bahan pokok yang parah termasuk gas untuk memasak, obat-obatan, dan impor makanan.

Wijesekera memaparkan bahwa masalah utamanya adalah kurangnya dollar. Ia pun mengimbau sekitar 2 juta orang Sri Lanka yang bekerja di luar negeri untuk mengirim pulang pendapatan devisa melalui bank, bukan saluran informal.

Lebih lanjut dia mengatakan, remitansi pekerja yang biasanya mencapai 600 juta dollar AS (Rp 8,98 triliun) per bulan turun menjadi 318 juta dollar AS (Rp 4,76 triliun) pada bulan Juni.

Menurut Bank Sentral, pengiriman uang--sebagai penghasil devisa utama negara --turun dari 2,8 miliar dollar AS (Rp 41,94 triliun) dalam enam bulan pertama tahun 2021 menjadi 1,3 miliar dollar AS (Rp 19,47 triliun) pada periode yang sama tahun ini. Penurunannya 53 persen.

Penurunan terjadi setelah pemerintah tahun lalu memerintahkan konversi wajib mata uang asing. Dikatakan bahwa premi pasar gelap menyebabkan orang menimbun mata uang asing.

Kondisi Sri Lanka terkini lainnya adalah negara menangguhkan pembayaran sekitar 7 miliar dollar AS (Rp 104,81 triliun) pinjaman luar negeri yang jatuh tempo pada 2022, dari total 25 miliar dollar AS (Rp 374,36 triliun) yang akan dilunasi pada 2026. Total utang luar negeri Sri Lanka adalah 51 miliar dollar AS (Rp 763,89 triliun).

Baca juga: Kenapa Sri Lanka Krisis BBM dan Bangkrut? Begini Ceritanya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com