Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Ketika Putin "Bermimpi" Jadi Tsar Rusia Modern

Kompas.com - 04/04/2022, 09:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tahun 1861, Kaisar Rusia Alexander II menghapus perbudakan Rusia. Namun para petani yang kecewa karena selalu diperas melakukan pemberontakan. Namun semua pemberotakan para petani berhasil ditumpas dengan sangat kejam.

Dalam dekade berikutnya, ada berbagai upaya reformasi seperti reformasi Stolypin 1906–1914, dan Amandemen Konstitusi 1906 untuk meliberalisasi ekonomi dan sistem politik. Namun, kaisar menolak berbagi kekuasan dan enggan melepaskan sistem pemerintahan otokratis.

Kombinasi kehancuran ekonomi, kelelahan perang, dan ketidakpuasan dengan sistem pemerintahan otokratis memicu Revolusi Rusia tahun 1917.

Penggulingan monarki awalnya membawa koalisi liberal dan sosialis moderat, tetapi kebijakan mereka yang gagal menyebabkan perebutan kekuasaan oleh kaum Bolshevik komunis pada tanggal 25 Oktober 1917.

Antara tahun 1922 dan 1991, sejarah Rusia pada dasarnya menjadi sejarah Uni Soviet, yang secara efektif merupakan negara berbasis ideologi komunis. Jadi, sejak era Joseph Stalin (1920-an), hingga "era stagnasi", 1960-an hingga 1980-an, Uni Soviet menjadi seperti sebuah ‘Pulau Sosialis-Komunis’ di tengah ‘Lautan Kapitalisme’. Dan, selama masa hampir 70 tahun lamanya Uni Soviet terperangkap dalam Perang Dingin karena bersaing dengan negara-negara Blok Barat.

Namun, pada pertengahan 1980-an, ketika kelemahan struktur ekonomi dan politik Soviet menjadi akut, Mikhail Gorbachev pun melakukan reformasi besar, yang berujung pada penggulingan Partai Komunis dan pecahnya Uni Soviet.

Mendayagunakan sejarah

Valdimir Putin menggantikan Boris Yeltsin sebagai presiden Federasi Rusia pasca-Uni Soviet, pada 07 Mei 1999. Semenjak itu, Putin mulai memposisikan dirinya sebagai wakil dari ‘Ketsaran’ dan ‘Kekaisaran’ Rusia yang pernah besar. Ia bahkan membayangkan diri sendiri sebagai Tsar Rusia modern (Bdk.Afanasyeva, Anna, 11 October 2017).

Analis politik Belanda, Niels Drost, yang menganlisis lebih dari 500 pidato Putin dan sumber-sumber lain menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, sejak menjadi presiden, Putin semakin dan berulang kali merujuk pada sejarah Kekaisaran Rusia. Putin juga secara konsisten mendayagunakan sejarah untuk mencapai tujuan kebijakannya (www.clingendael.org:01 Meret 2022).

Namun, dia menafikan fakta sejarah bahwa puncak kejayaan Tsar dan Kaisar hanya berlangsung sesaat. Dia seperti tak mau mengakui bahwa dari abad 9 hingga 16, Rusia tenggelam dalam perjuangan mencapai kejayaan. Kejayaan berlangsung antara 1547 hingga 1690-an). Dan sejak awal abad 17, Rusia bergerak secara pasti ke titik yang disebut ‘meredup.

Sikap menafikan sejarah itu tampak jelas dalam pidato Putin pada 2012. Kala itu dia menegaskan bahwa kebangkitan nasionalisme Rusia mengharuskan orang Rusia terhubung dengan sejarah masa lalu yang membentang sekitar 1.000 tahun.

Untuk maksud itu, selama dua masa jabatan pertamanya sebagai presiden, Putin juga menekankan hubungan antara orang-orang Rusia dan Ukraina berdasarkan sejarah agama (Katolik-Ortodoks) yang sama.

Bahkan, analis politik Belanda lainnya, De Graaf mengatakan, Putin menggunakan ‘simbol elang ganda’ yang secara tradisional melambangkan bagaimana gereja dan dunia menyatu dalam satu tubuh, dalam satu penguasa.

Tujuan ideologisnya adalah untuk menyatukan kembali orang-orang Slavia ke dalam negara suci Rusia, di mana dia melihat dirinya sebagai perwujudan dan Kyiv sebagai tempat lahirnya. (Bdk. podcast di radio Belanda, 26 Februari).

Jalan sulit bagi ‘Tsar Rusia’ modern

Putin selalu mengklaim bahwa negaranya berhak untuk memberikan pengaruh istimewa atas negara-negara pasca-Soviet.

Namun banyak dari negara-negara yang telah memisahkan diri dengan Uni Soviet menolak untuk kembali dipengaruhi oleh Rusia yang kental dengan kronisme lokal dan korupsi yang akut (New Reports Highlight Russia's Deep-Seated Culture of Corruption". VoA, 26 January 2020).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com