NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Sejumlah penyewa blok perkantoran kelas atas di Myanmar, yang menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dibangun di atas tanah milik militer, telah pindah atau sedang meninjau sewa mereka.
Perusahaan-perusahaan itu termasuk McKinsey, Coca-Cola dan Reuters, menurut laporan perusahaan tersebut.
Baca juga: Etnis Bersenjata Myanmar Berusaha Tangani Covid-19 secara Mandiri sejak Kudeta
Kelompok aktivis Justice for Myanmar bulan lalu meminta penyewa komersial kompleks perkantoran, dan toko Sule Square di jantung pusat komersial Myanmar di Yangon, untuk berhenti secara tidak langsung mendukung militer Myanmar.
"Sule Square memiliki penyewa dengan ‘nama besar’ (di tingkat global). Mereka terus menyewa ruang kantor di gedung itu, jadi secara tidak langsung mendukung tentara," kata Justice for Myanmar dalam sebuah laporan yang mengidentifikasi 18 penyewa.
Dalam laporannya pada Selasa (11/5/2021), Reuters mengatakan telah mendekati semua perusahaan yang disebutkan dalam laporan tersebut.
Dari enam yang mengatakan mereka telah pindah atau sedang meninjau rencana kantor, hanya satu yang menyebutkan alasan terkait dengan militer Myanmar.
Yang lain mengutip berbagai alasan termasuk prospek bisnis.
Bisnis telah runtuh di negara Asia Tenggara itu sejak kudeta militer 1 Februari, yang memicu protes dan pemogokan yang meluas.
Dalam periode itu, tentara juga telah membunuh ratusan warga sipil dan menangkap ribuan orang.
Dibuka pada 2017 di dekat Pagoda Sule yang bersejarah, Sule Square dikembangkan oleh afiliasi lokal Shangri-La Asia yang terdaftar di Hong Kong, yang juga mengelola gedung dan hotel yang berdekatan.
Bangunan tersebut disewa dari militer Myanmar, menurut misi pencarian fakta yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019.
Organisasi internasional itu mencoba menyelidiki kepentingan ekonomi, media, dan kelompok hak asasi manusia dari pihak junta.
Sebagai dasar kesimpulan bahwa tanah itu milik militer Myanmar, dalam laporan misi itu mengutip apa yang disebut catatan digital.
Salah satu penulis laporan tersebut, konsultan hak asasi manusia Chris Sidoti, mengatakan materi tersebut telah diarsipkan dan tidak segera tersedia.
Pada Selasa (11/5/2021), Reuters mengajukan permintaan kepada PBB untuk mendapatkan akses ke catatan tersebut.