NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021, dengan menggulingkan pemerintahan sipil dan menangkap pemimpinnya, Aung San Suu Kyi.
Kemudian 100 hari setelahnya Myanmar berubah menjadi ladang kekacauan, junta menindak keras bahkan menewaskan pedemo, ekonomi terguncang, dan memicu keprihatinan internasional.
Melansir AFP pada Senin (10/5/2021), berikut adalah rangkuman 100 hari kudeta Myanmar dan perkembangan terbarunya.
Baca juga: Myanmar Masih Krisis, Junta Militer Dapat Investasi Rp 39 Triliun
Para jenderal melancarkan kudeta Myanmar pada 1 Februari, menahan Aung San Suu Kyi dan sekutu-sekutu utamanya dalam penggerebekan sebelum fajar.
Kudeta ini mengakhiri 10 tahun masa demokrasi di Myanmar, setelah terbebas dari hampir 50 tahun pemerintahan militer.
Militer Myanmar mengklaim partai National League for Democracy (NLD)-nya Suu Kyi melakukan kecurangan untuk memenangkan pemilu pada November.
Aksi kudeta tersebut mengundang kecaman global, termasuk Paus Fransiskus hingga Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Dua hari kemudian Suu Kyi (75) didakwa melakukan pelanggaran tidak jelas atas kepemilikan walkie-talkie tak terdaftar di rumahnya.
Baca juga: Militer Myanmar Tuntut Aung San Suu Kyi atas Kepemilikan Walkie Talkie
Junta lalu memblokir platform media sosial termasuk Facebook yang sangat populer di Myanmar. Pemadaman internet setiap malam juga diberlakukan kemudian.
Protes keras melonjak selama akhir pekan tanggal 6-7 Februari. Puluhan ribu orang turun ke jalanan untuk menyerukan pembebasan Suu Kyi.
Para pekerja juga memulai mogok massal secara nasional pada 8 Februari.
Seorang wanita muda, Mya Thwate Thwate Khaing, ditembak di kepala dan satu orang lagi terluka setelah polisi menembaki kerumunan orang di Naypyidaw pada 9 Februari.
Baca juga: Akibat Kudeta Militer dan Covid-19, Setengah Populasi Myanmar Terancam Miskin
Keesokan harinya Washington mengumumkan sanksi terhadap beberapa pejabat militer, termasuk jenderal senior Min Aung Hlaing yang menjadi pemimpin kudeta.
Beragam sanksi lainnya jatuh pada pekan-pekan berikutnya. Selain dari AS ada pula dari Inggris dan Uni Eropa.