Para pengkritik mengecam langkah tersebut dengan alasan bahwa Myanmar dan Burma memiliki arti yang sama dalam bahasa Burma.
Hanya saja, Myanmar adalah cara yang lebih formal untuk menyebut Burma, sebuah kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari.
Baca juga: [Cerita Dunia] Chamoy Thipyaso Dipenjara 141.078 Tahun, Korbannya 16.000 Orang
Perubahan nama lain seperti Rangoon menjadi Yangon, hanya mencerminkan kesesuaian yang lebih besar dengan bahasa Burma, tidak lebih.
Selain itu, perubahan nama tersebut hanya terjadi dalam versi Bahasa Inggris.
Para simpatisan pro-demokrasi mengatakan bahwa pergantian nama itu tidak sah karena tidak diputuskan oleh rakyat.
Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia menentang junta militer dan terus menyebut negara itu Burma dan ibu kotanya, Rangoon.
Baca juga: [Cerita Dunia] Sebelum Rentetan Kecelakaan Pesawat Terjadi, Ini Dia yang Pertama
Pada 2010-an, rezim militer memutuskan untuk melakukan transisi negara menuju demokrasi.
Meski angkatan bersenjata tetap kuat, lawan politiknya dibebaskan dan pemilihan umum diizinkan untuk diadakan.
Pada 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi mayoritas kursi di parlemen Myanmar.
Ketika debat Myanmar versus Burma menjadi kurang terpolarisasi, sebagian besar pemerintah asing dan organisasi internasional memutuskan untuk mengakui Myanmar sebagai nama resmi.
Namun, banyak juga negara, seperti Australia, memutuskan untuk menggunakan Burma maupun Myanmar sebagai sarana untuk memberi sinyal dukungan bagi transisi demokrasi di dalam negeri dan pada saat yang sama mengikuti protokol diplomatik.
Baca juga: [Cerita Dunia] Kisah Heroik Kapten Sully Selamatkan 150 Penumpang Pesawat
Suu Kyi, yang menjadi pemimpin de facto negara itu pada 2016, juga menyatakan dukungannya untuk menggunakan Myanmar atau Burma. Namun, tidak semua negara mengikutinya.
AS tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang tidak mau menyebut Myanmar dan tetap menyebut negara itu sebagai Burma.
Hal itu ditegaskan Presiden AS Joe Biden saat memberi kecaman terhadap kudeta militer dengan menyebut negara itu sebagai Burma.
“AS mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap undang-undang sanksi kami,” ujar Biden.
Baca juga: [Cerita Dunia] Serba-serbi Tembok Berlin, Kenapa Dibangun dan Bagaimana Robohnya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.