Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[Cerita Dunia] Kenapa Burma Berubah Menjadi Myanmar? Berikut Kisahnya

Kompas.com - 05/02/2021, 20:01 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw merebut kekuasaan dari pemerintah sipil pada Senin (1/2/2021).

Kudeta militer tersebut merupakan ketiga kalinya sejak negara di Asia Tenggara itu merdeka dari pendudukan Inggris pada 1948.

Sebelum bernama Myanmar, negara tersebut mulanya bernama Burma sebagaimana dilansir dari The Indian Express.

Namun, pada 1989, Tatmadaw mengubah nama Burma menjadi Myanmar.

Baca juga: [Cerita Dunia] Es Krim yang Populer ketika Alkohol Dilarang di Amerika Sebelum Perang Dunia II

Kenapa Burma menjadi Myanmar?

Ketika Inggris mencaplok apa yang sekarang menjadi Myanmar selama abad ke-19, mereka menyebutnya Burma berdasarkan kelompok etnik dominan, Burman.

Setelah itu, Inggris mengaturnya sebagai salah satu provinsi kolonial India.

Pengaturan ini berlanjut hingga 1937 dan akhirnya Burma dipisahkan dari provinsi kolonial India dan dijadikan koloni terpisah.

Bahkan setelah negara itu merdeka pada 1948, negara itu tetap menggunakan nama peninggalan Inggris yakni Persatuan Burma.

Pada 1962, militer mengambil alih pemerintahan untuk pertama kalinya dan mengubah nama resminya pada 1974 menjadi Republik Sosialis Persatuan Burma.

Baca juga: [Cerita Dunia] 25 Tahun Hari Korban Kejahatan Nazi Hitler

Pada 1988 terjadi aksi protes massal yang membuat Jenderal Ne Win terguling dan posisinya digantikan oleh junta militer yang baru.

Insiden tersebut membuat kerusuhan berskala besar dan ribuan orang dilaporkan tewas. Massa mengubah nama Republik Sosialis Persatuan Burma menjadi Persatuan Burma.

Tapi setahun kemudian, pada 1989, junta militer mengadopsi undang-undang yang mengubah nama negara itu menjadi Persatuan Myanmar.

Selain mengubah nama, junta militer mengubah nama ibu kota dari Rangoon menjadi Yangon. Namun pada 2005, ibu kota dipindah ke Naypyidaw.

Baca juga: [Cerita Dunia] Krisis Suez dan Melemahnya Kekuatan Kolonialis Lama

Mengapa pergantian nama itu kontroversial?

Saat mengubah nama negara, militer mengatakan bahwa mereka berupaya meninggalkan nama yang diwarisi dari masa kolonial.

Selain itu, mereka juga berdalih perubahan nama itu untuk menyatukan 135 kelompok etnik yang diakui secara resmi, bukan hanya orang Burman.

Para pengkritik mengecam langkah tersebut dengan alasan bahwa Myanmar dan Burma memiliki arti yang sama dalam bahasa Burma.

Hanya saja, Myanmar adalah cara yang lebih formal untuk menyebut Burma, sebuah kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari.

Baca juga: [Cerita Dunia] Chamoy Thipyaso Dipenjara 141.078 Tahun, Korbannya 16.000 Orang

Perubahan nama lain seperti Rangoon menjadi Yangon, hanya mencerminkan kesesuaian yang lebih besar dengan bahasa Burma, tidak lebih.

Selain itu, perubahan nama tersebut hanya terjadi dalam versi Bahasa Inggris.

Para simpatisan pro-demokrasi mengatakan bahwa pergantian nama itu tidak sah karena tidak diputuskan oleh rakyat.

Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia menentang junta militer dan terus menyebut negara itu Burma dan ibu kotanya, Rangoon.

Baca juga: [Cerita Dunia] Sebelum Rentetan Kecelakaan Pesawat Terjadi, Ini Dia yang Pertama

Kapan nama Myanmar mulai diterima?

Pada 2010-an, rezim militer memutuskan untuk melakukan transisi negara menuju demokrasi.

Meski angkatan bersenjata tetap kuat, lawan politiknya dibebaskan dan pemilihan umum diizinkan untuk diadakan.

Pada 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi mayoritas kursi di parlemen Myanmar.

Ketika debat Myanmar versus Burma menjadi kurang terpolarisasi, sebagian besar pemerintah asing dan organisasi internasional memutuskan untuk mengakui Myanmar sebagai nama resmi.

Namun, banyak juga negara, seperti Australia, memutuskan untuk menggunakan Burma maupun Myanmar sebagai sarana untuk memberi sinyal dukungan bagi transisi demokrasi di dalam negeri dan pada saat yang sama mengikuti protokol diplomatik.

Baca juga: [Cerita Dunia] Kisah Heroik Kapten Sully Selamatkan 150 Penumpang Pesawat

Suu Kyi, yang menjadi pemimpin de facto negara itu pada 2016, juga menyatakan dukungannya untuk menggunakan Myanmar atau Burma. Namun, tidak semua negara mengikutinya.

AS tetap menjadi salah satu dari sedikit negara yang tidak mau menyebut Myanmar dan tetap menyebut negara itu sebagai Burma.

Hal itu ditegaskan Presiden AS Joe Biden saat memberi kecaman terhadap kudeta militer dengan menyebut negara itu sebagai Burma.

“AS mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi. Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap undang-undang sanksi kami,” ujar Biden.

Baca juga: [Cerita Dunia] Serba-serbi Tembok Berlin, Kenapa Dibangun dan Bagaimana Robohnya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Global
Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Global
Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Global
Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Global
China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

Global
Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Global
Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Global
Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Global
Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Global
China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

Global
Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Global
Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Global
[POPULER GLOBAL] Rudal Tua Tapi Canggih | Miss Buenos Aires Usianya 60

[POPULER GLOBAL] Rudal Tua Tapi Canggih | Miss Buenos Aires Usianya 60

Global
WHO: Penggunaan Alkohol dan Vape di Kalangan Remaja Mengkhawatirkan

WHO: Penggunaan Alkohol dan Vape di Kalangan Remaja Mengkhawatirkan

Global
Kunjungan Blinken ke Beijing, AS Prihatin China Seolah Dukung Perang Rusia

Kunjungan Blinken ke Beijing, AS Prihatin China Seolah Dukung Perang Rusia

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com