Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Warga Wuhan soal Covid-19 di AS: Orang Amerika Egois

Kompas.com - 18/07/2020, 12:49 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

KOMPAS.com - Xinyan Yu, seorang wanita asal Wuhan, pada Januari lalu melihat kabar dari layar kaca bahwa kampung halamannya di Wuhan, China terdampak wabah virus corona alias Covid-19.

Yu menyaksikan semua berita menyedihkan itu dari Amerika Serikat (AS), di mana dia tinggal dan bekerja sudah cukup lama di sana.

Kepada Brisbane Times pada Sabtu (18/7/2020), Xinyan Yu menuliskan pandangannya tentang respons AS terhadap wabah virus corona dan bagaimana dia membandingkannya dengan penanganan di negara asalnya, China.

Berikut ini kisah yang ditulis Xinyan Yu.

Baca juga: China Perlihatkan Sekilas Lab Wuhan yang Dituduh Jadi Sumber Covid-19

"Pada Januari lalu, setelah menyaksikan kampung halamanku di Wuhan bergulat dengan virus corona, kupikir aku lebih siap menghadapi wabah dibandingkan kebanyakan orang di AS.

Tak pernah terpikir olehku bahwa AS kemudian akan berjuang dengan sangat keras. Setidaknya, 6 bulan setelah wabah merebak di Wuhan.

Dan pada akhirnya, aku pun terinfeksi virus yang sangat menular itu.

Sejak virus corona muncul, aku hidup dalam kewaspadaan yang luar biasa. Aku sudah memakai masker begitu tahu Wuhan berjuang melawan virus bernama Covid-19 itu.

Aku memakai masker ke mana-mana, di mana pun aku berada. Meski, aku kerap mendapat cemooh, hinaan dan bahkan sikap kasar.

Baca juga: Kunjungi RS Militer, Trump Pakai Masker untuk Pertama Kalinya

 

Orang-orang sengaja batuk di hadapanku dan mengolok, 'Terima kasih China, Tuhan memberkati Amerika.'

Kuingat betul, itu yang diteriakkan seorang wanita di sebuah supermarket dekat Washington pada akhir Maret lalu. Tapi, hinaan itu tidak membuatku gusar.

Ya, cemooh itu tidak menggangguku karena aku tahu apa yang dibutuhkan oleh 11 juta orang di Wuhan untuk bisa mengendalikan wabah corona. 

Dan pada akhirnya, semua orang harus menerima kenyataan itu. Kenyataan untuk memakai masker.

Waktu bergulir, pada Juni kemarin, ketika lockdown di AS mulai melonggar, suamiku ingin merayakan ulang tahun ayahnya yang ke-70 di Pulau Marco, Florida, AS.

Baca juga: Trump Pakai Masker di Muka Umum, 3 Bulan Setelah Diimbau Pakar Kesehatan

Meski pun rencana pergi dengan pesawat sangat membuatku stres, kurva kasus infeksi yang melandai dan beberapa negara bagian di AS yang mulai kembali dibuka membuatku sedikit lega.

Di Pulau Marco, mertuaku, suamiku dan aku, kami berempat sangat khawatir jika berada di sebuah kerumunan. Termasuk ketika kami pergi ke sebuah toko es krim yang terkenal di sana. 

Kami ngeri dengan para pembeli lainnya yang mengantri berdekatan, juga dengan para staf yang melayani tanpa memakai masker.

Tak lama setelah kepulangan kami ke Washington dari Pulau Marco, suamiku dan aku terinfeksi virus corona.

Aku pun mengabarkan keluarga di Wuhan, mereka jelas tidak percaya. Hanya dalam waktu 6 bulan, China dan AS seakan-akan sudah bertukar tempat.

Baca juga: Studi Sebut Virus Corona Ada di Wuhan Sejak Agustus 2019, Ini Respons China

Semua yang bermula di Wuhan telah melaporkan nol kasus saat itu dan hanya memiliki 300 kasus asimptomatik sejak akhir Mei. Sementara beberapa negara bagian AS menjumpai ribuan kasus infeksi setiap harinya.

Ibuku bingung dengan respons wabah di AS, "Orang Amerika itu cuek," ujarnya dengan frustrasi.

Ibuku bisa bilang begitu karena terbiasa melihat pihak berwenang di China secara agresif berusaha 'mengenyahkan' virus corona.

Pada pertengahan Mei, Wuhan mampu memeriksa 9 juta penduduk dalam 'pertempuran 10 hari' sebagai respons terhadap kasus-kasus baru yang padahal hanya sebesar ibarat cakupan tangan.

Baru-baru ini bahkan, sebuah video yang beredar di media sosial China menunjukkan seorang wanita menangis histeris setelah menerima hasil tes yang menunjukkan 'positif' di pusat perbelanjaan Beijing.

Baca juga: WNI di Wuhan Ceritakan Detik-detik Jelang Lockdown dan Misi Senyap Evakuasi

Dalam 6 hari kemudian, tim pelacak kontak di Beijing berhasil mengidentifikasi dan mengarantina sebanyak 292 orang yang telah melakukan kontak fisik dengan wanita itu.

Seperti reaksi wanita itu, pertama kalinya aku terinfeksi virus corona, aku merasa sangat bingung dan bahkan, malu.

Respons wabah virus ini di China telah memicu stigma sosial dan membuat beberapa pasien Covid-19 merasa seperti orang buangan karena dianggap telah membahayakan diri dan banyak orang.

Di beberapa kota di China, pihak berwenang akhirnya menawarkan hadiah bagi siapa saja yang berani melaporkan diri sendiri atau pun melaporkan orang lain yang mungkin terinfeksi.

Mereka yang hasilnya menunjukkan positif kemudian menjalani beberapa pengujian ulang meski berada di bawah karantina ketat dan perawatan medis berminggu-minggu.

Namun, pada akhirnya, aku sadar bahwa aku tidak perlu merasa setakut itu di AS.

Baca juga: Jumlah Kasus Positif Corona AS Tertinggi di Dunia, Warga Tolak Tinggal di Rumah

Di AS, tidak ada yang memaksa untuk karantina mandiri, meski aku tetap berada di dalam rumah selama beberapa waktu karena bisa menulari siapa saja menurut arahan dokter.

Pelacak kontak di Washington juga memeriksa bagaimana kondisiku dan apa yang kurasakan setiap minggu meski tidak menyelidiki kemana aku pergi atau dengan siapa aku telah berjumpa.

Aku kemudian bisa memberitahu siapa saja orang yang pernah kuhubungi, tapi aku memilih untuk merahasiakannya.

Dokter meyakinkanku bahwa aku tidak akan menulari siapa pun dalam waktu 8 hari setelah gejala pertama dan tes ulang tidak diperlukan.

Di AS, kebanyakan hal seperti ini menjadi keputusan individu, tentang bagaimana mereka merespons wabah. 

Tidak seperti di China, yang bertindak lebih layaknya mesin besar yang mengalokasikan sumber daya dan tenaga kerja untuk menghadapi setiap tantangan.

Baca juga: Wabah Virus Corona, AS Bebaskan Tarif Impor untuk Produk Medis China

Menurutku, inilah perbedaan antara kolektivisme dan individualisme; China sedang berjuang melawan suatu pandemi sedangkan setiap negara, komunitas dan orang Amerika hanya berjuang demi diri mereka sendiri.

Namun memang, tidak ada contoh penanganan yang sepenuhnya berhasil. Di AS, kebijakan yang tidak konsisten dan tertunda menyebabkan lonjakan kasus.

Rumah sakit jadi kewalahan dan masyarakat rentan menanggung banyak beban yang tidak proporsional.

Di China, pelapor dan jurnalis warga dibungkam, sensor menyikat tajam konten pertikaian di dunia maya dan kebijakan karantina yang kaku telah menggantikan para pekerja migran dan imigran.

Tapi, ada pendekatan yang menggabungkan kolektivisme dan individualisme di beberapa negara seperti Korea Selatan, Jerman dan Selandia Baru.

Baca juga: 24 Hari Nol Kasus Infeksi, Selandia Baru Mulai Bebas Covid-19

Dalam konteks pandemi, kebebasan adalah pedang bermata dua, ini bukan hanya hak universal tapi juga pakta sosial yang hanya berfungsi jika semua orang ada di dalamnya.

Setiap orang dengan kebebasan yang mereka miliki harus berhati-hati untuk tidak melanggar kebebasan orang lain dengan pilihan mereka.

Pada 4 Juli lalu, 10 hari setelah gejala infeksi virus corona yang kurasakan, aku memutuskan untuk pergi menonton kembang api setelah banyak berjibaku dalam hati dan berkonsultasi dengan dokter.

Dengan begitu, aku memilih untuk menggunakan 'cara' Amerika dalam merespons wabah dengan logika berpikir, 'di tengah lonjakan kasus, apa yang kupilih tak akan benar-benar membuat perbedaan'."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Dinas Keamanan Ukraina Mengaku Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Dinas Keamanan Ukraina Mengaku Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Global
Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

Mengenal Apa Itu Chloropicrin, Senjata Kimia yang AS Tuduh Rusia Pakai di Ukraina

Global
Argentina Luncurkan Uang Kertas 10.000 Peso, Setara Rp 182.000

Argentina Luncurkan Uang Kertas 10.000 Peso, Setara Rp 182.000

Global
Majikan Ditemukan Meninggal, PRT Ini Sebut karena Bunuh Diri dan Diwarisi Rp 43,5 Miliar

Majikan Ditemukan Meninggal, PRT Ini Sebut karena Bunuh Diri dan Diwarisi Rp 43,5 Miliar

Global
Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Membaca Arah Kepemimpinan Korea Utara dari Lagu Propaganda Terbaru

Internasional
Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Apa Saja yang Perlu Diketahui dari Serangan Israel di Rafah?

Global
AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

AS Disebut Hentikan Pengiriman 3.500 Bom ke Israel karena Kekhawatiran akan Serangan ke Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Rangkuman Hari Ke-804 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Dilantik untuk Periode Ke-5 | Ukraina Gagalkan Rencana Pembunuhan Zelensky

Global
Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Jepang Dinilai Joe Biden Xenofobia, Benarkah?

Internasional
AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

AS Optimistis Usulan Hamas Direvisi Lancarkan Gencatan Senjata di Gaza

Global
6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

6 Bulan Jelang Pilpres AS, Siapa Bakal Cawapres Trump?

Global
Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Kabinet Perang Israel Putuskan Lanjutkan Operasi di Rafah Gaza meski Dikecam Internasional

Global
Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Saat Protes Pro-Palestina oleh Mahasiswa Menyebar di Belanda, Jerman, Perancis, Swiss, dan Austria...

Global
Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Israel Didesak Buka Kembali Penyeberangan Rafah Gaza, AS Ikut Bersuara

Global
[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

[POPULER GLOBAL] Hamas Setujui Usulan Gencatan Senjata | Pielieshenko Tewas Bela Ukraina

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com