Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Industri Layanan Makanan di Asia Mulai Beralih ke Cloud Kitchen

Kompas.com - 07/07/2021, 13:38 WIB
Silvita Agmasari

Editor

Sumber Antara

KOMPAS.com - Industri layanan makanan di Asia beradaptasi dengan pandemi Covid-19. Caranya dengan mengubah model bisnis menjadi berbasis teknologi yang inovatif.

Menurut laporan Food for thought: evolution of food services post-COVID-19 in Asia oleh perusahan global konsultasi manajemen Kearney, pelaku industri yang inovatif dapat berkembang pesat di tengah penurunan pasar.

Pandemi memberi dampak penurunan yang cukup parah untuk pasar layanan makanan di Asia.

Baca juga: Apa Itu Cloud Kitchen, Konsep Bisnis Kuliner yang Marak Saat Pandemi

Menurut laporan tersebut, pasar layanan makanan di Asia menyusut sebanyak 25 hingga 30 persen menjadi sekitar 952 miliar dolar AS pada 2020.

Pasar layanan makanan di Indonesia, India, dan Filipina, terkena dampak parah dengan penurunan sebanyak 35 hingga 45 persen.

Namun demikian, pengiriman makanan online di Asia meningkat sebanyak 30 persen pada tahun 2020. Tahun sebelumnya bahkan tidak mencapai 20 persen.

Agregator makanan juga mengalami pertumbuhan lebih dari 30 persen, 65 persen dari pengiriman makanan online berasal dari agregator.

Cloud kitchen kian diandalkan

Cloud kitchen juga semakin populer dan sudah diterapkan oleh sebagian besar restoran cepat saji untuk mendorong pertumbuhan.

"Saat dampak ekonomi dari COVID-19 dan preferensi konsumen terus berkembang, perusahaan jasa makanan harus segera melakukan pengaturan dan investasi ulang yang signifikan pada bisnis," ujar Siddharth Pathak, Partner di Kearney.

Baca juga: Cloud Kitchen, Diprediksi Ubah Pola Bisnis Restoran Konvensional

Dengan pengaturan ulang, biaya bisnis dapat dialokasikan sebanyak 30 persen ke dalam model operasi baru, seperti cloud kitchen, restoran yang baru, atau restrukturisasi.

Pengoptimalan biaya ini dapat menghemat lebih dari 10 persen, didorong oleh penyesuaian staf, biaya sewa, dan sumber bahan dapur.

"Penghematan ini juga dapat dimanfaatkan guna mendanai digitalisasi dan strategi komunikasi untuk membentuk kepercayaan konsumen dan persepsi brand yang positif," kata Shirley Santoso, Partner di Kearney.

Shierly menyebutkan restoran flagship (berantai) perlu beralih ke model jaringan hibrida, menggabungkan toko fisik yang lebih kecil, cloud kitchen, dan outlet khusus untuk takeaway.

Baca juga: Untung Rugi Berbinis Kuliner dengan Konsep Cloud Kitchen

Kehadiran restoran flasghip dianggap masih relevan untuk membangun kehadiran brand.

Namun, ukuran restoran akan mengecil 15 persen karena berkurangnya pelanggan yang makan di tempat.

Sisanya 30 persen portofolio perusahaan juga akan dialokasikan untuk cloud kitchen.

Beda hal dengan layanan makan mandiri yang skalanya lebih kecil.

ilustrasi dapur kulinerPIXABAY/FREE-PHOTOS ilustrasi dapur kuliner

Laporan Kearney menunjukkan bahwa mereka mungkin perlu menutup toko fisik mereka, kemudian beralih sepenuhnya ke cloud kitchen. Mereka juga akan bergantung pada agregator.

Sekitar 15 persen hingga 20 persen pesanan akan dipimpin oleh agregator.

Peran agregator bagi industri jasa makanan di sini adalah untuk menghimpun data serta informasi dalam memperlancar pemesanan, pelacakan pembayaran, pengiriman, serta pengalaman konsumen.

 

Industri jasa makanan diramalkan akan menjadi lebih terkonsolidasi karena agregator makanan mengambil bagian besar dari pasar layanan makanan.

Baca juga: Panduan Layanan Pesan Antar Makanan pada Era New Normal dari Kemenparekraf

"Para agregator akan terus tumbuh pesat dan mendominasi ekosistem layanan makanan," jelas Siddarth.

Ia menyebutkan agregator telah berhasil membangun loyalitas pelanggan, contohnya dengan memberi kemudahan dalam pemesanan, pelacakan pembayaran, dan pengiriman.

Agregator juga terus meningkatkan pengalaman konsumen dengan memberikan platform untuk ulasan restoran serta program langganan atau loyalitas.

Siddharth menyebutkan dalam ranah business-to-business (B2B), agregator akan mengakuisisi perusahaan yang dapat memberi nilai tambah.

Para agregator akan membangun jaringan cloud kitchen mereka sendiri seperti yang sudah dilakukan di Thailand, Singapura, Filipina, dan Indonesia.

"Mereka juga akan menjadi one stop shop bagi perusahaan layanan makanan, dengan menyediakan bahan baku, peralatan masak, ruang cloud kitchen, pinjaman modal, alat analisis, serta sistem point of sale," lanjut Siddharth.

Baca juga: Di Filipina, Batalkan Pesan Antar Makanan Bisa Dipenjara 6 Tahun

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com