Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

"Contextual Intelligence", Kecerdasan Pemimpin Atasi Krisis Multidimensi

Kompas.com - 01/11/2022, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ERA volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) memberikan ketidakpastian bagi siapapun, khususnya organisasi dan bisnis. Keadaan yang serba tidak pasti membuat kita harus adaptif dalam menyikapi keadaan.

Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita tidak berhenti belajar dan melihat dari sudut pandang yang lebih besar. Konon, para inovator dunia memiliki kemampuan untuk melihat gambaran besarnya dan mampu memperkirakan sesuatu dengan akurat.

Contohnya Jeff Bezos. Tahun 1997, dia sudah memperkirakan akan terjadi booming di bidang e-commerce dan Jeff sudah mengantisipasi perubahan sikap konsumen dan sudah menetapkan bahwa Amazon akan menjadi pemain penting di bidang itu.

Nyatanya, foresight Jeff Bezos menjadi kenyataan. Amazon menjadi perusahaan e-commerce terbesar di dunia. Pendapatannya mencapai 469 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 7.340 triliun, jauh melebihi perusahaan e-commerce lainnya.

Baca juga: Miliarder India Gautam Adani Salip Jeff Bezos, Jadi Peringkat 2 Orang Terkaya Dunia

Jeff Bezos pun ikut menuai kesuksesan yang diraih Amazon dan saat ini menjadi salah satu orang terkaya di dunia.

Kisah singkat ini mengilustrasikan salah satu karakter dari seorang pemimpin, selain visioner ia memiliki contextual intelligence, yaitu kemampuan menerapkan pengetahuan sesuai konteks situasi yang dihadapi untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi.

Contextual Intelligence: Kemampuan wajib bagi pemimpin masa kini

Profesor Harvard, Tarun Khanna, memberikan pengertian tentang apa itu contextual intelligence. Menurut dia, contextual intelligence adalah sebuah kemampuan untuk memahami batas pengetahuan kita dan mengadaptasinya ke dalam bidang atau lingkungan yang berbeda.

Singkatnya, contextual intelligence adalah tentang bagaimana seorang pemimpin mengaplikasikan pengetahuannya di dalam kehidupan personal dan profesional.

Baca juga: Kepemimpinan Milenial

Sementara itu, Professor Harvard, Joseph Nye, melihatnya dari sudut pandang kepemimpinan, sehingga dia memunculkan istilah contextual leadership. Dia mengatakan bahwa contextual leadership sebuah kemampuan diagnosis intuitif yang dapat membantu pemimpin untuk menyelaraskan target dengan tujuan agar bisa menciptakan strategi yang cerdas.

Esensi penting dari kedua profesor di atas adalah bahwa pemimpin perlu memiliki kemampuan untuk melihat konteks dari sebuah fenomena dan menerapkan pengetahuan yang mereka miliki untuk bisa menyelesaikan masalah.

Setiap pengetahuan tidak bisa diterapkan begitu saja dalam lingkungan apapun. Pemimpin perlu mencocokkan mana pengetahuan yang relevan dan mana yang tidak. Itulah yang disebut contextual intelligence.

Pemimpin dengan contextual intelligence yang baik memahami bahwa tidak ada solusi yang bersifat one-size-fits-all. Terlebih, dengan situasi dunia yang semakin kompleks. Alhasil, pemimpin harus memformulasikan sebuah kebijakan dan solusi yang berbasis konteks.

Kemampuan itu yang akan membantu pemimpin menyelesaikan berbagai permasalahan. Mereka layaknya seorang futurist yang memiliki kemampuan untuk membedakan tren yang berdampak dalam menghadapi kompleksitas.

Seorang futurist memiliki contextual intelligence yang baik dan menggunakan kemampuan diagnosanya untuk menentukan tren yang akan berpengaruh dan beradaptasi sesuai tren tersebut.

Contoh sederhananya adalah bagaimana cara kita berkomunikasi pada hari ini. Ada berbagai cara untuk berkomunikasi: bisa melalui email, WhatsApp, media sosial, dan tatap muka. Akan tetapi, setiap platform memiliki cara dan etika yang berbeda-beda. Jenis pesannya pun berbeda.

Sangat penting untuk memahami bagaimana kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif agar pesan kita tersampaikan. Itu adalah beberapa ilustrasi tentang bagaimana pemimpin perlu memiliki contextual intelligence yang baik.

Dengan kata lain, perlu menggunakan langkah-langkah yang disebutkan oleh Alvin Toffler: learn, unlearn, relearn. Penerapan contextual intelligence idealnya seperti itu. Seorang pemimpin menyeleksi pengetahuan, menentukan pengetahuan mana yang berguna, dan memutuskan untuk mempelajari sesuatu apabila pemimpin tidak memiliki set pengetahuan tertentu.

Namun untuk dapat melakukan itu perlu kecerdasan emosional. Regulasi emosi memang dibutuhkan, terlebih mendeteksi tren dan memanfaatkan tren yang terjadi membutuhkan kesabaran.

Tetapi, ketika kita berhasil, dampak yang akan didapat sangat besar. Manfaat kecerdasan emosional pun juga kerap kali digaungkan oleh para pakar kepemimpinan. Ketika sedang pandemi dan harus memimpin banyak orang secara remote, kemampuan ini sangat bermanfaat.

Riset dari Wittmer & Hopkins (2021) menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengalami tingkat stres yang lebih rendah dan stabil. Menurut McKinsey di tahun 2018, tuntutan untuk kemampuan emosional dan sosial akan tumbuh 26 persen di Amerika dan 22 persen di Eropa.

Riset dari Harvard Business Review tahun 2018 juga menemukan bahwa organisasi yang mengedepankan kecerdasan emosional 64 persen lebih berdaya dan toleran terhadap risiko. Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah salah satu aspek terpenting bagi pemimpin yang memiliki contextual intelligence yang tinggi.

Ilustrasi kepemimpinan di era digital.SHUTTERSTOCK/METAMORWORKS Ilustrasi kepemimpinan di era digital.
Memimpin dengan melihat konteks masalah

Ron Ashkenas dalam artikelnya berjudul To Lead Change, Explain the Context di Harvard Business Review, memiliki nuansa yang menarik dalam menjelaskan contextual intelligence dalam memimpin.

Dia menekankan, memang dunia bisnis berjalan terlalu cepat dan strategi pasti berubah. Namun, seorang pemimpin perlu menjelaskan bagaimana fokus organisasi yang sekarang dapat membantu meraih visinya, sehingga, anggota rela untuk melakukan perubahan dan tetap berenergi.

Maksud Ron adalah bahwa setiap organisasi memiliki visi. Namun, untuk mencapai visi itu, ada beberapa misi yang harus dilaksanakan. Menurut Ron, perusahaan Hewlett Packard (HP) dulu memiliki tiga fokus yang membuat mereka berkembang: inovasi teknologi, lalu pertumbuhan melalui akuisisi, dan efisiensi.

Baca juga: Hewlett-Packard Enterprise Dikabarkan Bakal Dibeli Rp 523 Triliun

Strategi itu yang membawa HP ke tingkat yang sekarang. Poin pentingnya adalah setiap hal yang dilakukan itu bertujuan untuk meraih visinya dan pemimpin harus mengomunikasikannya secara transparan.

Hal itu akan membuat anggota merasa lebih paham dan lebih berenergi untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya. Anggota mengetahui kontribusinya dapat memberikan dampak positif bagi organisasinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah Indonesia Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang 24-25 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

[POPULER TREN] Pencairan Jaminan Pensiun Sebelum Waktunya | Prakiraan Cuaca BMKG 24-25 Mei

Tren
Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Rumput Lapangan GBK Jelang Kualifikasi Piala Dunia usai Konser NCT Dream Disorot, Ini Kata Manajemen

Tren
Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Bukan UFO, Penampakan Pilar Cahaya di Langit Jepang Ternyata Isaribi Kochu, Apa Itu?

Tren
5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

5 Tokoh Terancam Ditangkap ICC Imbas Konflik Hamas-Israel, Ada Netanyahu

Tren
Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Taspen Cairkan Gaji ke-13 mulai 3 Juni 2024, Berikut Cara Mengeceknya

Tren
Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis 'How to Make Millions Before Grandma Dies'

Gaet Hampir 800.000 Penonton, Ini Sinopsis "How to Make Millions Before Grandma Dies"

Tren
Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Ramai soal Jadwal KRL Berkurang saat Harpitnas Libur Panjang Waisak 2024, Ini Kata KAI Commuter

Tren
Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Simak, Ini Syarat Hewan Kurban untuk Idul Adha 2024

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Dini Kekeringan di DIY pada Akhir Mei 2024, Ini Wilayahnya

Tren
8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

8 Bahaya Mencium Bayi, Bisa Picu Tuberkulosis dan Meningitis

Tren
3 Alasan Sudirman Said Maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, Siap Lawan Anies

3 Alasan Sudirman Said Maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, Siap Lawan Anies

Tren
Starlink Indonesia: Kecepatan, Harga Paket, dan Cara Langganan

Starlink Indonesia: Kecepatan, Harga Paket, dan Cara Langganan

Tren
AS Hapuskan 'Student Loan' 160.000 Mahasiswa Senilai Rp 123 Triliun

AS Hapuskan "Student Loan" 160.000 Mahasiswa Senilai Rp 123 Triliun

Tren
Apakah Setelah Pindah Faskes, BPJS Kesehatan Bisa Langsung Digunakan?

Apakah Setelah Pindah Faskes, BPJS Kesehatan Bisa Langsung Digunakan?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com