Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

"Contextual Intelligence", Kecerdasan Pemimpin Atasi Krisis Multidimensi

Kompas.com - 01/11/2022, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terlebih, menurut survei dari PwC tahun 2021, sebanyak 75 persen anggota ingin bekerja di organisasi yang memberikan dampak positif bagi lingkungan.

Di atas itu semua, menjadi lebih penting jika pemimpin dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya berdasarkan situasi yang dihadapi. Kata kuncinya adalah adaptif.

Menurut Profesor Ann Gregory dan Profesor Paul Willis dalam buku mereka yang berjudul Strategic Public Relations Leadership Second Edition, sulit bagi organisasi untuk selalu sukses setiap saat, sehingga membutuhkan adaptasi dan fleksibilitas terhadap dunia luar.

Adaptif berarti menyesuaikan gaya kepemimpinan kita dengan kondisi, apakah itu faktornya dari eksternal atau internal. Pemimpin yang memiliki contextual intelligence akan menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai situasi yang dihadapi.

Kemampuan adaptif ini tentu bermanfaat dalam mengatasi berbagai problematika global. Ada kemiskinan, pengangguran, perubahan iklim, dan masih banyak lagi masalah multidimensi kita.

Masalah-masalah tersebut tentu membutuhkan pemahaman berbagai isu dan sudut pandang. Misalnya, masalah ekonomi tidak hanya menjadi masalah sistemik yang melibatkan bagaimana sistem ekonomi berjalan, akan tetapi ada aspek kebijakan publik, pola pikir, politik, dan budaya yang harus dipahami.

Contoh nyatanya adalah tentang dunia perhumasan. Kita mengetahui betul bagaimana humas mengomunikasikan pesan mereka terhadap berbagai isu yang terjadi. Misalnya isu yang terjadi hari-hari ini tentang Covid-19 dan ginjal akut. Sosok humas yang baik harus mengetahui tentang Covid-19 dan ginjal akut dengan baik.

Baca juga: Performa Komunikatif Dalam Organisasi

Selain itu, menurut Profesor Ann Gregory dan Paul Willis, humas perlu mengetahui bagaimana mereka menyampaikan sense of urgency dalam isu menjadi sangat penting. Apakah harus menggunakan perspektif komunikasi risiko atau komunikasi krisis.

Pemilihan jenis komunikasi akan menentukan bagaimana respon masyarakat nantinya, apakah panik atau tetap tenang.

Menurut Profesor Ann Gregory dan Paul Willis dalam buku Strategic Public Relations Leadership Second Edition, untuk menjadi pemimpin hubungan masyarakat yang cerdas secara kontekstual, diperlukan apresiasi yang dinamis terhadap faktor-faktor yang membentuk kondisi yang berdampak pada organisasi mereka.

Contoh lainnya adalah banyaknya perusahaan gagal karena tidak mampu membaca situasi. Kita ambil contoh Kodak. Dahulu, tidak ada yang mampu mengalahkan Kodak dalam hal fotografi. Kualitasnya sangat bagus. Namun, mereka harus kalah karena disrupsi teknologi.

Baca juga: Sejarah Panjang Kamera Digital, dari VTR hingga Kodak

Pemimpinnya juga tidak mampu menyesuaikan kebijakannya dengan perkembangan zaman dan tidak memiliki contextual intelligence yang memadai.

Ilustrasi lainnya sudah kita rasakan. Ketika pandemi terjadi, cara kerja berubah dan prioritas anggota juga berubah. Anggota sekarang berfokus untuk mendapatkan work-life balance karena pandemi membuat well-being menjadi tidak baik-baik saja.

Tren itu bisa jadi berkelanjutan di masa depan, di mana sudah mulai ada istilah quite quitting dan sebagainya. Tidak hanya di tempat kerja, dunia pendidikan pun juga perlahan berubah karena teknologi.

Terlebih dengan banyaknya platform pembelajaran yang dapat diakses kapanpun dan di manapun. Cara belajar pun juga tidak hanya tatap muka. Ada pola hybrid atau full remote.

Untuk memberikan nuansa berapa pentingnya adaptabilitas, menurut studi dari Deloitte European Workforce 2020, sebanyak 40 persen karyawan tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan cara kerja di organisasi tempatnya bekerja saat Covid-19 menyerang.

Studi itu memberikan perspektif bahwa sikap adaptif penting, bukan hanya untuk anggota semata, melainkan pemimpin.

Selain itu, memimpin dengan konteks memerlukan tim yang solid serta memiliki latar belakang yang berbeda. Memiliki tim yang beragam latar belakang akan sangat membantu pemimpin meningkatkan contextual intelligence dan mengontekstualisasikan kebijakan dan lebih memahami persoalan, baik itu masalah internal dan eksternal.

Survei dari Gartner tahun 2020 menunjukkan tim yang inklusif berperforma 30 persen lebih baik. Terlebih, sekarang anggota senang berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda latar belakang. Perasaan keterbukaan itu yang akhirnya menciptakan sense of belonging.

Tahun 2019, Harvard Business Review menulis laporan bahwa sense of belonging akan meningkatkan performa sebesar 56 persen, mengurangi turnover sebanyak 50 persen, dan akan lebih sedikit orang yang absen dari pekerjaan mereka.

Di atas itu semua, menurut saya sense of belonging akan menciptakan trust. Trust akan menciptakan tim yang berani untuk berbicara fakta.

Steve Andriole dalam artikelnya di Forbes menekankan pentingnya truth-talking teams. Untuk menciptakan tim yang berani menyatakan fakta, kepercayaan harus dibangun lebih dahulu agar orang-orang nyaman berbicara fakta.

Tim yang berbasis kepercayaan akan membuat anggota lebih engage, yang menurut riset Gartner tahun 2020 akan meningkat sebesar 76 persen. Tetap terpaku pada visi, tetapi caranya bisa bervariasi tergantung target yang ingin dicapai.

Mengkomunikasikan apa yang dilakukan saat ini akan berdampak di kemudian hari juga vital agar anggota tetap semangat dalam bekerja. Namun, tidak lupa juga untuk lebih melihat ke dalam sisi anggota apa yang mereka butuhkan dan rangkul tim agar tercipta sense of belonging.

Sense of belonging dapat menciptakan tim yang berani bicara fakta. Aspek ini penting dalam menyelesaikan masalah multidimensi.

Pentingnya konteks untuk memecahkan masalah multidimensi

Menjadi pemimpin yang memiliki contextual intelligence membutuhkan banyak latihan, pengalaman, dan pengetahuan, terutama bagaimana menempatkan pengetahuan yang tepat sesuai konteksnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com