"IDEALISME adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh seorang pemuda".
Tan Malaka begitu bernas mengemukakan pertentangan di persimpangan jalan pilihan dari seorang pemuda. Apakah akan terus berjuang dengan kemurnian idealismenya? Ataukah akan melakukan barter kepentingan demi sebuah kompromi?
Kekuasaan begitu memabukkan. Ada gurih, harum, dan bertaji. Sementara kaum oposan hanyalah "pengkritik" abadi rezim yang menang. Oposan harus siap susah dan menderita.
Saya tidak bisa membayangkan perjuangan Soekarno muda begitu “menghebat” di masanya. Usai menamatkan Hogere Burgerschool (HBS) di Surabaya, 10 Juni 1921, Soekarno begitu ngebet kuliah ke Belanda.
Ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai begitu melarang niat Soekarno karena tidak sudi kuliah di luar negeri hanya untuk mendapat gelar atau malah kecantol perempuan kulit putih. Ida Ayu ingin Soekarno menuntut ilmu di Tanah Airnya sendiri.
Baca juga: Peristiwa Menjelang Kemerdekaan: Gerakan Pemuda Mendorong Proklamasi Kemerdekaan
Soekarno akhirnya kuliah di Technische Hogeschool te Bandoeng atau kini dikenal dengan ITB (Institut Teknologi Bandung) dengan biaya dari ayahnya yang guru dan ibunya yang membatik. Saat kuliah, Soekarno sempat mencari tambahan biaya dengan cuti kuliah. Soekarno sempat bekerja sebagai petugas administrasi stasiun kereta api Surabaya.
Juli 1922, Soekarno memutuskan lanjut kuliah dan untuk pertama kali berpidato mengobarkan semangat dan kesadaran politik rakyat dalam rapat raksasa di Bandung. Pidato Soekarno dihentikan dan acara dibubarkan polisi Belanda. Sejak saat itu Soekarno dianggap pengacau dan selalu diawasi polisi Belanda.
Soekarno lulus dan diwisuda pada 25 Mei 1926 bersama segelintir mahasiswa bumiputera seperti Anwari, JAH Ondang, dan Soetedjo menjadi insinyur sipil pertama lulusan Hindia Belanda – setara dengan lulusan Technische Hogeschool Delft Belanda (Historia.id, 14 Agustus 2020).
Sama dengan idealisme yang dijunjung Soekarno, Bung Hatta juga menjadi aktivis di Belanda saat tengah menempuh pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Bisnis di Rotterdam, 1921. Walau usianya baru 19 tahun, Hatta sudah bergiat di Indische Vereeniging – organisasi mahasiswa Hindia Belanda di Belanda.
Hatta bergiat di penerbitan majalah organisasi yang bernama Hindia Poetra. Tulisan-tulisan Hatta dikenal kritis, mengusik kemapanan kolonial di tanah jajahan. Ketidakadilan dalam penetapan sewa tanah rakyat di perkebunan milik orang-orang Belanda menjadi topik yang diangkat Hatta.
Pada 23 September 1927 bersama Nazir Sutan Pamoentjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dicokok polisi Belanda. Mereka dituduh menghasut publik untuk melawan pemerintah terutama melalui tulisan-tulisan di Indonesia Merdeka.
Tanggal 9 Maret 1928, Hatta menyampaikan pidato pembelaannya yang “cetar membahana” bertajuk Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka. Pidato berdurasi 3,5 jam itu membelejeti praktik eksploitasi rezim penjajah di Hindia Belanda. Hatta memanfaatkan hasil belajarnya di bidang ekonomi politik untuk mengupas ketimpangan di negerinya dan sentilan kerasnya memengaruhi pola pandang warga Belanda.
Dalam salah satu bagian pledoinya, Hatta berucap, "Kami percaya masa datang bangsa kami dan kami percaya atas kekuatan yang ada dalam jiwanya. Kami tahu bahwa neraca kekuatan di Indonesia senantiasa berkisar ke arah keuntungan kami".
Akhirnya pengadilan di Den Haag membebaskan Hatta dan teman-temannya. Selanjutnya Hatta tetap melanjutkan kegiatan politiknya untuk menekan penjajahan. Hatta baru meraih gelar sarjana ekonomi pada Juli 1932. Hatta menghabiskan 11 tahun sebelum pada akhirnya lulus. Galibnya hanya dibutuhkan 5 tahun. Tiga belas tahun berselang bersama Sukarno, Hatta memproklamasikan kemerdekaan (Liputan6.com, 15 Maret 2014).