Gerakan dan aksi demo jalanan mahasiswa di berbagai daerah yang menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden jadi tiga periode serta mengecam kelangkaan minyak goreng serta kenaikan bahan kebutuhan pokok akhir-akhir ini adalah cerminan kegelisahan sebagian besar rakyat.
Mahasiswa mewakili semangat para pemuda yang berjuang menuntut ilmu untuk memajukan peradaban bangsa. Mahasiswa masih diyakini menjadi tonggak perubahan yang membawa bangsa dan negara ini mencapai tujuannya.
Baca juga: Tatkala Mahasiswa Tolak Kemunculan Partai Mahasiswa Indonesia
Sebagai representasi opini publik, gerakan mahasiswa untuk menekan rezim yang berkuasa sangat efektif untuk perubahan kebijakan pemerintah. Peristiwa jatuhnya rezim Soeharto yang tiran, korup, kolutif, dan nepotis berhasil karena gelombang reformasi yang dilancarkan mahasiswa.
Saya menjadi saksi aneka demo jalanan di Malang-Jawa Timur, Jogyakarta, hingga Jakarta saat kegentingan terjadi sepanjang 1997 – 1998. Saa itu saya masih berprofesi sebagai reporter berita di sebuah stasiun televisi swasta. Di berbagai kampus yang menjadi “sarang” aktivis mahasiswa bergerak melawan rezim Orde Baru saya datangi, untuk membuat reportase tuntutan mahasiswa. Suara rakyat begitu identik dengan tuntutan mahasiswa. Kami mengalami kesemrawutan di berbagai aspek kehidupan di zaman Orde Baru.
Menjadi heran dan sangat prihatin jika ada aktivis mahasiswa bahkan pengurus badan mahasiswa di era kemajuan internet seperti sekarang ini yang menyebut di masa Orde Baru kehidupan sangat sejahtera dan ada kebebasan berpendapat.
Saya, seperti halnya rekan-rekan jurnalis yang berkhidmat di era Soeharto, menjadi saksi penculikan aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) seperti Budiman Sujatmiko, Garda Sembiring, Desmon Junaidi Mahesa, Pius Lustrilanang serta aktivis partai seperti Haryanto Taslam. Mengikuti rapat-rapat intens bersama Munir, Bambang Widjojanto, Teten Masduki di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), gerakan-gerakan Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) bersama Hendardi atau rapat-rapat politik dari Kelompok Petisi 50.
Tidak ada kebebasan bersuara di era Soeharto. Saya, yang membuat berita pernyataan Mayjen TNI (Purn) Theo Syafei di Kampus Universitas Surabaya yang meminta Soeharto mundur, “didamprat” habis dan ditekan oleh anggota Komisi Siaran di tempat saya bekerja yang semuanya diisi personel militer.
Bayangkan, ada stasiun televisi swasta tetapi yang menyensor berita apakah layak tayang atau tidak adalah personel militer yang tidak tahu menahu jurnalistrik. Yang tidak layak tayang adalah berita yang mengkritik ketimpangan di masyarakat dan aksi demo menuntut Soeharto lengser. Mereka semua bertugas “mengamankan” kekuasaan Soeharto.
Suatu ketika ada visual demo mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Jogyakarta berikut berita yang saya “haluskan” agar bisa tayang di program berita bisa lolos tayang. Kelompok pendemo yang menamakan “Mas Wiranto” atau Masyarakat Wirobrajan Anti Soeharto saya “pelintir” dengan narasi “Masyarakat Wirobrajan Anti Seseorang” tetapi visual spanduk yang muncul dalam siaran tetap tertulis sebagaimana aslinya.
Akibatnya stasiun televisi tempat saya bekerja mendapat teguran keras dan “palak” dari seorang pembantu presiden ketika itu.
Kekuatan mahasiswa sebagai parlemen jalanan dan pengkritisi ketimpangan sangat efektif dan menjadi momok yang menakutkan berbagai rezim. Dan menjadi heran ketika tiba-tiba muncul Partai Mahasiswa dalam gegap gempitanya tuntutan mahasiswa menolak isu perpanjangan jabatan presiden tiga periode. Siapakah gerangan Partai Mahasiswa itu? Masih perlukan mahasiswa mendirikan partai?
Setiap zaman mempunyai tantangan yang berbeda. Zaman Soekarno – Hatta mempunyai musuh yang sama yakni kolonial penjajah. Mahasiswa era 1966 berkolaborasi dengan militer mempunyai musuh yang sama yakni Soekarno. Mahasiswa era reformasi, berkoalisi dengan rakyat dan media menumbangkan Soeharto. Mahasiswa di era Joko Widodo, akan lebih tepat menjadi kekuatan penyeimbang yang tetap bersuara kritis menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi.
Mendirikan partai politik bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan kelengkapan pengurus dan keberadaan kantor di berbagai daerah. Butuh fokus pemikiran dan kekuatan penggalangan kapital untuk menjalankan kepartaian yang modern.
Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, perlu mundur dari parlemen untuk fokus mengurus partai. Karena itu, jadi mengherankan jika ada mahasiswa yang menjadi pengurus inti partai politik yang bernama Partai Mahasiswa. Bagaimana manajemen waktunya antara prioritas kuliah atau prioritas berpartai?
Mahasiswa harus melek politik tetapi tidak harus berkecimpung di dunia praksis partai politik. Jika mereka sudah menamatkan kuliah, boleh saja mendirikan partai politik karena hak setiap warga bangsa. Pilihannya tinggal memperkuat instrumen partai politik yang sudah ada atau membentuk yang baru.