Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Militer Myanmar Mulai Gunakan Kewarganegaraan sebagai “Senjata” Lawan Pengkritik Rezim

Kompas.com - 20/04/2022, 10:28 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Al Jazeera

 

NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Rezim Militer Myanmar telah mengumumkan mencabut status kewarganegaraan 33 pembangkang tingkat tinggi, sejak Maret.

Para kritikus menggambarkan langkah itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional.

Baca juga: Junta Myanmar Akan Memusnahkan Semua Lawan Kudeta Militer

Mereka yang ditargetkan termasuk diplomat yang menolak bekerja untuk militer, anggota pemerintah paralel yang dibentuk untuk menentang kudeta tahun lalu, selebriti yang blak-blakan, dan aktivis terkemuka.

Tiga pemberitahuan terpisah di media pemerintah mengatakan kewarganegaraan mereka dicabut, karena mereka melakukan "tindakan yang dapat merugikan kepentingan Myanmar".

Militer Myanmar merebut kekuasaan pada Februari 2021, setelah menolak mengakui kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di bawah Aung San Suu Kyi yang menang telak dalam pemilihan ulang.

Kudeta memicu krisis politik – ratusan ribu pegawai negeri melakukan pemogokan, jutaan turun ke jalan untuk memprotes. Demonstrasi damai juga telah berubah menjadi gerakan angkat senjata oleh sipil menyusul tindakan keras militer yang brutal.

Di antara mereka yang dicabut kewarganegaraannya adalah Kyaw Moe Tun, duta besar Myanmar untuk PBB. Dia yang secara dramatis menyatakan kesetiaannya yang berkelanjutan kepada pemerintah yang digulingkan tak lama setelah kudeta.

Diplomat lain yang dicabut kewarganegaraannya termasuk Duta Besar Myanmar untuk Inggris Kyaw Zwar Minn, dan Thet Htar Mya Yee San, sekretaris kedua di kedutaan Myanmar di Amerika Serikat.

Baca juga: Siapa Rohingya dan Sejarah di Myanmar

Kebijakan tersebut juga menargetkan anggota terkemuka dari Pemerintah Persatuan Nasional – kabinet saingan yang dibentuk oleh beberapa politisi yang terpilih dalam pemilihan November 2020.

“Upaya putus asa junta untuk menyakiti kami dan membuat kami tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali adalah ilegal dan tidak akan menghalangi saya atau rekan-rekan saya dari bekerja untuk orang-orang pemberani Myanmar yang telah sangat menderita begitu lama.” kata Dr Sasa, juru bicara NUG dan menteri kerja sama internasional, mengatakan kepada Al Jazeera dilansir pada Rabu (20/4/2022).

Taktik baru membungkam oposisi

Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch, mengatakan kebijakan tersebut hanyalah contoh terbaru dari militer “menggunakan kewarganegaraan sebagai senjata”.

“Masih banyak aktivis dari generasi sebelumnya pemrotes demokrasi pada 1990-an dan awal 2000-an yang kewarganegaraan Burma-nya belum dipulihkan,” katanya, menambahkan bahwa masalah ini tidak mungkin diselesaikan sampai demokrasi dipulihkan.

Emerlynne Gil, wakil direktur regional untuk penelitian di Amnesty International, mengatakan penghentian kewarganegaraan “tidak konsisten dengan hukum internasional” jika membuat para korban tidak memiliki kewarganegaraan.

“Ini adalah kemungkinan menjadi dampak bagi mereka yang disasar oleh militer Myanmar, karena negara itu tidak mengizinkan kewarganegaraan ganda,” kata Gil.

Baca juga: Rohingya Sambut Baik AS Tetapkan Militer Myanmar Lakukan Genosida, tapi...

Dia menambahkan bahwa memutus kewarganegaraan "tampaknya menjadi bagian dari iklim pembalasan di negara itu, di mana otoritas militer menggunakan cara apa pun tidak peduli seberapa kejam atau melanggar hukum untuk membungkam oposisi" terhadap kudeta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com