Usai terbakar, pesawat akan menjatuhkan komponen mineral garam tersebut ke awan yang tepat.
Setelah itu, uap air kemudian akan bertambah dan lebih mudah mengembun sehingga dapat berubah menjadi hujan.
Cloud seeding umumnya dilakukan saat kondisi angin, kelembaban, dan debu tidak cukup untuk menyebabkan hujan.
Baca juga: Dihantam Badai, Kota Mewah Dubai Terendam Banjir
Pada 1990-an, UEA mulai memperkenalkan metodologi cloud seeding yang dirancang untuk mengatasi masalah kekurangan air.
Sebagai informasi, pada tahun tersebut, UEA merupakan wilayah kering dan jarang turun hujan.
Lalu pada awal 2000-an, Wakil Presiden UEA saat itu, Sheikh Mansour Bin Zayed Al Nahyan, mengalokasikan dana hingga 20 juta dollar Amerika Serikat atau Rp 176,315 miliar pada waktu itu untuk penelitian cloud seeding.
UEA bermitra dengan NASA dan Pusat Penelitian Atmosfer Nasional di Colorado untuk menyiapkan metode program cloud seeding.
Pemerintah UEA membentuk satuan tugas yang disebut NCM di Abu Dhabi, UEA yang melakukan cloud seeding lebih dari 1.000 per tahun untuk meningkatkan curah hujan.
NCM memiliki jaringan radar cuaca dan lebih dari 60 stasiun cuaca yang mengelola operasi penyemaian di negara tersebut.
Selain itu, lembaga tersebut juga bertugas untuk memantau kondisi atmosfer sebelum melakukan cloud seeding.
Baca juga: TKW Asal Cianjur yang Dijadikan Pekerja Seks di Dubai Ditemukan, Ini Kronologinya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.