Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggaran Wajib Bidang Kesehatan Dihapus dalam UU Kesehatan Baru, Apa Dampaknya?

Kompas.com - 12/07/2023, 13:15 WIB
Nur Rohmi Aida,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru disahkan menghapus anggaran wajib minimal (mandatory spending) di bidang kesehatan.

Dikutip dari Kompas.com Rabu (12/3/2023), pada UU Sebelumnya, yakni UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kesehatan, anggaran wajib minimal bidang kesehatan dipatok sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji.

Namun dalam UU Kesehatan terbaru, tak ada besaran minimal alokasi anggaran wajib di bidang kesehatan.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan, namun hasilnya tidak bagus.

Menurut Budi, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai.

"Itu yang kita ingin mendidik masyarakat, butuh bantuan dari teman-teman bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak," katanya, dikutip dari Kompas.com Selasa (11/7/2023).

Budi menyampaikan, tidak ada data satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang kesehatan akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang.

Lantas, apa dampak dari dihapusnya anggaran wajib minimal 5 persen di bidang kesehatan ini?

Baca juga: DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi UU, Sempat Ditolak Dua Fraksi

Pendapat ahli

Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Center Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yusdhistira menilai, penghapusan mandatory spending 5 persen dalam APBN tentang kesehatan akan membawa implikasi yang luas.

Salah satu yang dikhawatirkan, yakni akan memengaruhi berbagai upaya kesehatan yang telah dilakukan selama ini, di antaranya soal pemberantasan stunting.

"Tak ada jaminan misal anggaran untuk stunting nilainya akan sebesar saat ini. Padahal masih banyak daerah-daerah dengan preverensi stunting tinggi," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/7/2023).

Selain itu, pihaknya juga mengkhawatirkan penghapusan ini akan memengaruhi pembenahan fasilitas kesehatan (faskes) terutama yang ada di daerah-daerah terpencil dan terluar.

Baca juga: Pro Kontra UU Kesehatan yang Baru Disahkan

Bhima mengatakan, penghapusan mandatory spending 5 persen tak menjamin kualitas dari penganggaran kesehatan ke depan akan lebih baik.

"Kalau masalah yang ada saat ini di dalam penganggaran madatory spending 5 persen itu banyak belanja birokrasi, banyak belanja yang tak relevan dengan program utama, ya kan ada fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit," kata dia.

Ia menilai, jika salah satu pertimbangan penghapusan ini adalah karena masalah transparansi, seharusnya BPK dapat melakukan tindak lanjut guna memperbaiki kualitas belanja kesehatan di kementerian maupun lembaga terkait.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa | Peringatan Dini Kekeringan di Jateng

[POPULER TREN] Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa | Peringatan Dini Kekeringan di Jateng

Tren
Viral, Video Pelajar di Yogyakarta Dikepung Usai Tertinggal Rombongan

Viral, Video Pelajar di Yogyakarta Dikepung Usai Tertinggal Rombongan

Tren
Daftar Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit yang Tidak Menerapkan KRIS

Daftar Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit yang Tidak Menerapkan KRIS

Tren
Pohon Purba Beri Bukti Musim Panas 2023 adalah yang Terpanas dalam 2.000 Tahun

Pohon Purba Beri Bukti Musim Panas 2023 adalah yang Terpanas dalam 2.000 Tahun

Tren
7 Makanan Tinggi Kalori yang Menyehatkan, Cocok untuk Menaikkan Berat Badan

7 Makanan Tinggi Kalori yang Menyehatkan, Cocok untuk Menaikkan Berat Badan

Tren
Sosok Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta Uang ke Pejabat Kementan untuk Aksesori Mobil

Sosok Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta Uang ke Pejabat Kementan untuk Aksesori Mobil

Tren
Sejumlah Pemerintah Daerah Larang dan Batasi 'Study Tour', Pengamat Pendidikan: Salah Sasaran

Sejumlah Pemerintah Daerah Larang dan Batasi "Study Tour", Pengamat Pendidikan: Salah Sasaran

Tren
Gerbang Dunia Bawah di Siberia Semakin Terbuka Lebar Imbas Es Mencair

Gerbang Dunia Bawah di Siberia Semakin Terbuka Lebar Imbas Es Mencair

Tren
Viral, Video Penumpang KRL Terperosok Celah Peron Stasiun Sudirman

Viral, Video Penumpang KRL Terperosok Celah Peron Stasiun Sudirman

Tren
WNA Rusia Mengaku Dideportasi Usai Ungkap Kasus Narkoba, Ini Kata Polda Bali dan Imigrasi

WNA Rusia Mengaku Dideportasi Usai Ungkap Kasus Narkoba, Ini Kata Polda Bali dan Imigrasi

Tren
Video Viral Petugas Dishub Medan Disebut Memalak Pedagang Martabak, Ini Faktanya

Video Viral Petugas Dishub Medan Disebut Memalak Pedagang Martabak, Ini Faktanya

Tren
21 Layanan yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024, Apa Saja?

21 Layanan yang Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan dalam Perpres Nomor 59 Tahun 2024, Apa Saja?

Tren
Rincian Penerimaan Gratifikasi Rp 23,5 Miliar Eks Kepala Bea Cukai DIY Eko Darmanto

Rincian Penerimaan Gratifikasi Rp 23,5 Miliar Eks Kepala Bea Cukai DIY Eko Darmanto

Tren
Persib Bandung Gandeng Pinjol sebagai Sponsor, Bagaimana Aturannya?

Persib Bandung Gandeng Pinjol sebagai Sponsor, Bagaimana Aturannya?

Tren
Berkaca pada Kasus Anak Depresi karena HP-nya Dijual, Psikolog: Kenali Bocah yang Berpotensi Depresi

Berkaca pada Kasus Anak Depresi karena HP-nya Dijual, Psikolog: Kenali Bocah yang Berpotensi Depresi

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com