Pihaknya juga mengkhawatirkan, penghapusan mandatory spending sebenarnya bertujuan untuk memperkecil kontribusi anggaran kesehatan terhadap peningkatan defisit APBN.
"Ini kan aneh, begitu mandatory spending kesehatan berkurang maka proyek-proyek yang butuh anggaran APBN besar seperti IKN, Infrastruktur, mendapat porsi lebih besar pada APBN," ujarnya.
Bhima mengingatkan, kesehatan adalah hak paling utama bahkan posisinya seharusnya di atas hak untuk mendapat infrastruktur.
Menurutnya, penghapusan mandatory spending bisa membuat porsi anggaran kesehatan dari total APBN nilainya bisa kurang dari 5 persen.
Jika itu terjadi, ia mengkhawatirkan adanya liberalisasi dana kesehatan yang pada akhirnya akan banyak mengandalkan peran swasta maupun komersialisasi di sektor kesehatan.
"Hal ini bisa berdampak pada keterjangkauan masyarakat miskin untuk mendapatkan hak kesehatan mereka," tandasnya.
Baca juga: 5 Alasan RUU Kesehatan Didemo Organisasi Profesi Kesehatan
Bhima mengatakan, bukannya dihapus, mandatory spending seharusnya dinaikkkan nilainya misal menjadi 10 persen, sekaligus dilakukan perbaikan kualitas anggaran agar lebih efektif dalam menyasar program-program prioritas.
"Kalau mencabut, kemudian ada perubahan yang ujungnya tak menjamin porsi 5 persen, itu menjadi langkah mundur di sektor kesehatan," ujarnya.
Saat ditanya apakah penghapusan mandatory spending di bidang kesehatan ini bisa mempengaruhi program BPJS Kesehatan yang selama ini ada, ia menilai hal itu bisa saja terjadi.
"Bisa berpengaruh, terutama ke PBI. Karena seolah pemerintah ingin memperlonggar kewajiban terhadap alokasi PBI," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.