Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Polah, Masalah, dan Hikmah

Kompas.com - 28/02/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KASUS Mario Dandy Satrio (20), anak seorang pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, yang menganiaya seorang remaja berinisial D di kawasan Jakarta Selatan, telah meneteskan jutaan makna bagi manusia Indonesia. Seorang anggota keluarga pegawai yang diharapkan memiliki integritas tinggi, melakukan perilaku di luar kurva normal. Sebuah perilaku yang terlihat salah di konteks yang salah. Hal ini menghasilkan gelombang hujatan -yang tidak tertahankan dari warganet (netizen).

Sebuah respon wajar, yang juga menunjukkan bahwa netizen secara tidak langsung telah memiliki edukasi yang semakin baik, plus semakin pantas melakukan kontrol sosial. Gelombang respons ini, sejatinya menunjukkan bahwa ada sebuah proses pembangunan yang "tidak baik-baik" saja, dan memerlukan perhatian khusus.

Baca juga: Sri Mulyani dan Buntut Panjang Kasus Mario Dandy Satrio

Respon netizen terkait kasus ini memang cenderung emosional, spontan, dan terkadang berpontensi mengarah pada perundungan yang berlebihan.

Sebuah kesalahan perilaku sejatinya tidak untuk dihujat terus menerus sambil memuaskan nasfu bullying. Sejatinya hal itu dijadikan hikmah pembelajaran dan untaian kebijaksanaan. Masyarakat belajar untuk bersabar, dan sekaligus terus belajar untuk berperan sebagai kontrol sosial dan auditor moral.

Pemerintah bersabar untuk menata langkah perbaikan dan penyempurnaan, serta menyingkirkan sekecil apapun hal-hal yang bisa melukai nurani rakyat. Manusia adalah tempatnya salah dan khilaf, sehingga perjalanan hidupnya penuh dengan ujian yang menghasilkan silih berganti antara keberhasilan dan kegagalan.

Setiap kegagalan/kesalahan yang merugikan orang lain, tentu memerlukan perlakuan khusus untuk menghasilkan efek jera. Sebuah "kesalahan" yang tidak mendapat perhatian yang proporsional, berpontensi menjadi "kebenaran semu" dan "kewajaran baru".

Maka, langkah selanjutnya, tentu bagaimana masyarakat bersinergi mengambil hikmah, dan memastikan tidak terjatuh lagi ke lubang yang sama.

Kepekaan terhadap Masalah Sosial

James Crone (2007) melalui buku How Can We Solve our Social Problem menegaskan bahwa sebuah masalah sosial terjadi ketika publik secara subyektif mempersepsi dan memiliki bukti empirik untuk menunjukkan bahwa sebuah situasi sosial yang terbangun dari kombinasi cakupan loka, sosial, dan global memengaruhi permasalahan individu.

Definisi ini sejalan dengan semangat pembangunan sosial, yaitu bahwa proses pembangunan seyogianya adalah pembangunan sikap positif, akhlak yang baik dan perilaku produktif. Maka, analisa proporsional terhadap ragam masalah personal dan masalah sosial yang terjadi, perlu terus dilakukan secara berkesinambungan dengan pelibatan stakeholder yang luas.

Sebagai contoh, diperlukan atensi khusus terhadap ragam perilaku yang menggedor nurani masyarakat sebagai mitra pembangunan. Perhatikan, adakah masalah perilaku yang cenderung menyelisihi amanah dan yang berujung pada kekerasan ini terus berulang?

Baca juga: Mario Dandy Satrio Sering Pamer Harley dan Rubicon, Ini Alasan Orang Flexing Barang Mewah di Medsos

Jika iya, masyarakat dan negara perlu menaggapi hal itu sebagai isu publik (public issue), bukan sekedar masalah pribadi (personal troubles).

Maknanya, jika terjadi berulang, berarti dibutuhkan perhatian khusus untuk menanganinya. Sebuah kasus sampai menimbulkan reaksi publik dan menimbulkan ketidakpercayaan, berarti dibutuhkan upaya tertentu untuk memastikan agar hal ini tidak mengganggu jalannya pembangunan.

Kisah Pembangunan

Secara sederhana pembangunan dapat didefinisikan seagai suatu "perubahan yang direncanakan (planned change)". Sejak Perang Dunia II selesai, filosofi pembangunan bangsa-bangsa di dunia mengacu kepada filosofi pertumbuhan (growth).

Pembangunan diukur secara finansial dan material, seperti kepemilikan harta, pertumbuhan ekonomi, daya beli dan lain-lain. Secara peradaban, manusia di dunia tidak mengalami kemajuan (Wirutomo, 2022), terutama dalam insting dasarnya (kerakusan, agresivitas, kekerasan).

Hal itu mudah dilihat pada kehidupan keseharian kita, di mana isi berita di media masa, didominasi oleh praktik-praktik kekerasan, perundungan, penculikan, pencurian, agresivitas dan lain sebagainya. Jika hal ini sudah menggejala secar menyuluruh dan hampir terjadi setiap hari, mungkinkah ini disebut masalah personal (personal troubles)? Tentu tidak.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com