Ruang publik menjadi tidak kondusif untuk menumbuhkan lingkungan kritis rasional untuk melahirkan ide-ide. Ruang publik menjadi area yang lebih banyak dipengaruhi sistem birokrasi hierarkis.
Baca juga: Juergen Habermas di Usia 90 Tahun: Pemikir Kritis yang Pantang Diam
Contoh yang baik dari ini adalah cara media massa beroperasi dalam satu arah vertikal. Tidak ada interaksi antara pembaca dan editor. Media hanya dikonsumsi. Di tahun 1990-an aktivis mahasiswa, seperti yang terjadi tahun 1800-an, memanfaatkan pamflet untuk menyosialisasikan opini mereka tentang politik.
Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga yang dililit kemiskinan struktural. Seperti halnya ruang publik yang dikuasai kaum borjuis di tahun 1800-an, mereka tak punya kesempatan untuk berpendapat melalui ruang publik yang didominasi rezim Orde Baru.
Kita sekarang berada di era internet. Habermas menyoroti ruang publik sebagai mekanisme fundamental demokrasi, ruang yang menjadi dasar kesetaraan dan rasionalitas debat demokrasi. Media sosial memegang peranan amat penting di sini.
Salah satu pertanyaan terbesar yang diajukan Habermasians kontemporer tentang internet dan politik adalah, apakah ruang baru ini bertindak sebagai ruang publik yang efektif atau apakah ruang itu memisahkan dan bertindak hanya sebagai ruang yang memantulkan gema sehingga menghambat debat yang efektif dan rasional?
Pengguna berpikir bahwa internet, dalam konteks ini kita akan fokus pada media sosial, adalah sebuah alat. Ini salah besar. Alat adalah sesuatu yang menunggu dengan pasif untuk kita manfaatkan. Alat adalah obyek. Media sosial bergerak aktif, merupakan obyek namun juga subyek jika kita mengacu pada postmodernisme.
Media sosial memunculkan notifikasi-notifikasi yang sudah direkayasa: Sesuai dengan siapa orang yang paling sering berinteraksi dengan kita, apa gender kita, kesukaan, dan lain-lain. Media sosial menyodorkan kita sebuah dunia semu yang kita kira riil (hiperrealitas).
Hal lain yang perlu kita cermati adalah pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa kehadiran media sosial memberi harapan akan kembalinya ruang publik yang diharapkan Habermas.
Salah satu ciri ruang publik yang ideal menurut Habermas adalah mampu mengakomodasi keinginan bersama untuk mendiskusikan isu-isu yang sesuai dengan ketertarikan publik. Selain itu, dalam ruang tersebut ada debat yang rasional serta kritis dan setiap orang memiliki kesempatan untuk memengaruhi melalui kekuatan argumen.
Dilihat dari sisi ini, media sosial sepertinya malah menjauhkan kita dari ruang publik yang ideal. Habermas memang meragukan potensi internet untuk memulihkan keseimbangan ruang publik. Kita bisa paham akan keraguan itu antara lain saat mencermati fenomena buzzer.
Sebagai corong politisi atau partai politik, para buzzer dibayar untuk membela atau berkampanye bagi pihak yang membayar dan dengan demikian menutup ruang bagi warga berdialog secara kritis. Bukannya penuh dengan postingan yang mencerahkan pemikiran, media sosial justru sesak dengan makian yang mematikan kesempatan untuk bertukar pikiran.
Selain itu netizens juga banyak yang menggunakan media sosial hanya untuk menghasilkan noise, bukan voice. Media sosial lantas menjadi ‘ruang yang memantulkan gema sehingga menghambat debat yang efektif dan rasional.’
Gambaran ideal Habermas sepertinya menjauh jika dikaitkan dengan berbagai fenomena terkait media sosial dan cara kerjanya: mengandalkan algoritma, dikendalikan keserakahan akan uang dan kekuasaan, ada campur tangan politik, leluasa bergerak di tengah kehadiran regulasi yang tak pernah benar-benar diberlakukan, dan lain-lain.
Mengingat tahun politik 2024 kian dekat dan politik identitas merajalela, bisa kiranya kita simpulkan bahwa cita-cita Habermas tetap layak untuk diperjuangkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.