Hanya saja di lapangan, belum pernah para perusak cagar budaya mendapat hukuman maksimal semacam itu. Negosiasi dan penyiasatan celah-celah hukum menjadi pilihan kompromi.
UU tentang Cagar Budaya hingga awal 2022 dianggap belum memiliki “paket komplit” karena ketiadaannya peraturan pelaksanaan dan aturan teknis lainnya hingga perusakan demi perusakan cagar budaya begitu masif di lapangan.
Setelah menunggu hampir 12 tahun, akhirnya turunlah peraturan pelaksanaan dari UU tentang Cagar Budaya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengelola cagar budaya sehingga dapat tercapai sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.
Dalam PP tersebut, diatur berbagai aspek tentang pelestarian cagar budaya, mulai dari pendaftaran, pelestarian, pengelolaan kawasan, insentif dan kompensasi, pengawasan, hingga pendanaan.
Tercantum pula bahwa setiap orang yang memiliki atau menguasai Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB) wajib mendaftarkan kepada bupati/wali kota tanpa dipungut biaya. Siapa pun yang menemukan ODCB juga wajib melaporkan temuannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan atau instansi terkait di wilayah tempat ditemukan obyek tersebut.
Baca juga: BPCB Jatim Pindahkan 4 Benda Cagar Budaya dari Abad Ke-14 di Blitar
Bagi masyarakat yang tidak memiliki ODCB pun dapat turut berpartisipasi mendorong pemilik untuk melakukan pendaftaran, memberikan informasi, membantu proses pengumpulan data, atau melakukan pengawasan terhadap proses pendaftaran.
Namun perlu diperhatikan bahwa siapa pun dilarang untuk melakukan pencarian ODCB, terkecuali atas izin menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu masyarakat dapat turut serta dalam upaya pengawasan cagar budaya, antara lain dengan mencegah terjadinya pelanggaran, memberi masukan terhadap upaya pelestarian cagar budaya, atau melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap pemanfaatan, pendaftaran, pelestarian, pengelolaan kawasan, pengawasan, hingga pendanaan cagar budaya.
Dengan pelibatan seluruh pihak, diharapkan dapat tumbuh rasa dan keinginan yang kuat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian cagar budaya di lingkungannya masing-masing.
Memahami kerja sahabat-sahabat di Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi, saya kerap membayangkan mereka ini seperti Avengers.
Jika Avengers yang terdiri dari Captain America, Hulk, Thor, Iron Man, Black Widow bersatu padu mengusir anasir jahat penghancur Bumi, maka personel Pusdatin berburu data kebudayaan dan pendidikan, di antaranya melalui kebijakan teknis pengelolaan data dan statistik serta pengembangan dan pendayagunaan teknologi informasi.
Data-data mengenai cagar budaya yang telah dilakukan penetapan peringkat berdasarkan pengkajian dan rekomendasi dari tim ahli cagar budaya oleh gubernur, atau bupati/wali kota diverifikasi dan divalidasi tim Pusdatin dengan kunjungan ke lapangan.
Dengan durasi penugasan singkat, medan lokasi yang kerap sulit ditembus atau kendala di lapangan, tim Pusdatin harus mendokumentasikan, mengumpulkan data serta membuatkan profiling data kebudayaan dan kebahasaan termasuk di dalamnya cagar budaya.
Pusdatin harus berkejaran dengan waktu agar data-data kebudayaan dan kebahasaan menjadi teregistrasi nasional sehingga upaya penyelamatan dari kerusakan dan kepunahan warisan budaya bisa dilakukan dengan cepat.
Warisan budaya yang ada dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis berdasarkan segi kebendaannya, yang terdiri dari warisan kebudayaan kebendaan dan warisan kebudayaan tak benda.