"Argumen (alasan) ini bukan hanya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK," terang Ismail.
"DPR menganggap 3 orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR, yakni tidak membatalkan UU yang dibentuk oleh DPR dan Presiden," imbuh dia.
Baca juga: Gaji, Tunjangan, dan Pensiunan Anggota DPR
Di sisi lain, Ismail menjelaskan bahwa desain ketatanegaraan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden, dan MA, bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut.
Melainkan untuk memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi Mahkamah Konstitusi karena posisinya sebagai peradilan Konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.
Adapun alasan pencopotan karena keputusan politik juga tidak tidak dibenarkan.
"Argumen DPR bahwa tindakannya merupakan keputusan politik juga menyesatkan, karena sebagai institusi politik DPR tetap terikat dan harus patuh pada UU MK dan seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik dan dituangkan dalam bentuk UU," jelas Ismail.
Baca juga: Sesat Pikir Dalam Alasan Pencopotan Hakim MK, Aswanto
Menurut Ismail, apabila DPR hendak mengganti Aswanto sebagai Hakim Konstitusi, hal itu seharusnya dilakukan dengan cara mengubah batasan masa jabatan hakim MK dan kewenangan kocok ulang sebagaimana yang sedang diinisiasi melalui perubahan keempat UU MK.
"Rencana revisi UU MK baru disahkan menjadi inisiatif DPR pada Kamis, 29/9/20022, tetapi pada saat yang bersamaan DPR telah mempraktikkan norma yang masih berupa RUU revisi dimaksud," ungkap Ismail.
Carut-marut terkait jabatan hakim MK memang dimulai dari DPR yang pada perubahan ketiga telah mengubah ketentuan batas usia Hakim Konstitusi hingga 70 tahun atau maksimal 15 tahun menjabat tanpa ketentuan kocok ulang atau evaluasi dari lembaga pengusul.
"Masalahnya, hakim MK dengan penuh konflik kepentingan juga mengafirmasi perubahan itu dengan mencari dalil-dalil pembenar yang menguntungkan dirinya," terang Ismail.
"Padahal, ihwal masa jabatan dan batas usia adalah kebijakan hukum terbuka yang bukan merupakan isu konstitusional. Artinya, pembangkangan-pembangkangan konstitusi juga dipicu oleh kinerja MK yang sarat kepentingan," tandas dia.
Menurut Ismail, kekeliruan cara DPR memperbaiki MK saat ini sebaiknya direspons oleh Presiden Joko Widodo.
"Presiden Jokowi sebaiknya menolak pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur Hamzah, kecuali DPR dan Presiden mengubah terlebih dulu UU MK," tandasnya.
Baca juga: Aswanto Mendadak Diberhentikan dari Hakim MK, Komisi III: Dia Wakil DPR, tapi Produk DPR Dia Anulir