Dikutip dari kolom Kompas.com, dosen dan peneliti ekonomi di universitas Jember Adhitya Wardhono mengatakan, mata uang digital yang diterbitkan bank sentral merupakan evolusi besar ke depan dari sistem pembayaran.
Atlantic Council melaporkan, per Mei 2022 sudah 10 negara yang resmi meluncurkan CBDC, yaitu Bahama, Jamaika, Antigua dan Barbuda, Saint Kitt dan Nevis, Montserrat, Dominika, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Grenada, dan Nigeria.
Sementara di kawasan ASEAN, hanya negara Singapura, Malaysia, dan Thailand yang melakukan tahap uji coba CBDC.
Sedangkan Indonesia, Myanmar, Filipina, Vietnam, dan Laos masih dalam tahap riset.
Sementara, data kepemilikan aset cryptocurrency yang dilansir dari Global State of Crypto Report 2022 memposisikan Indonesia bersama Brasil pada urutan pertama.
Bagaimana dengan Bank Indonesia (BI) sebagai sebuah bank sentral?
Menurut Adhitya, bagi BI akan sangat menantang ikut berencana meluncurkan rupiah digital untuk bersaing menghadapi cryptocurrency seperti bitcoin dan ethereum.
Program rupiah digital menjadi bagian proses digitalisasi ekonomi Indonesia yang saling terintegrasi.
"Jika BI berencana menjadikan rupiah digital sebagai mata uang digital resmi Indonesia, maka BI juga akan melakoni koordinasi dengan bank sentral negara lain. Memungkinkan kebijakan moneter lebih gesit," kata dia.
Kehadiran mata uang digital memantik perdebatan terkait saluran transmisi kebijakan.
Kebijakan moneter diyakini memilik dampak tak langsung pada perekonomian melalui berbagai saluran transmisi.
"Efeknya akan ada jeda waktu sebelum bisa dirasakan. Ini beda dengan kebijakan fiskal yang lebih cepat berdampak pada perekonomian," tutur Adhitya.
Namun meskipun demikian menurutnya kehadiran CBDC akan menciptakan era baru pada kebijakan moneter yang lebih gesit.
Bank sentral bisa mendistribusikan uang baru secara langsung ke pengguna akhir tanpa perantara.
Program pemerintah seperti bantuan tunai dapat diinisiasi melalui instrumen CBDC. Berbeda dengan mekanisme sebelumnya yang membutuhkan penerbitan obligasi pemerintah.
Bank sentral melalui CBDC menurutnya nantinya dapat langsung memberikan stimulus yang dibutuhkan dalam perekonomian, sehingga muncul potensi pelebaran pada ruang fiskal dan besaran penerimaan pajak.
"CBDC bisa dimodifikasi dan diprogram sesuai kebutuhan, sehingga memunculkan beragam kemungkinan seperti dikenakan bunga ataupun diberi batasan waktu secara umum," papar dia.
Dengan demikian, bank sentral bisa punya kekuatan dalam memengaruhi perilaku agen ekonomi melalui CBDC.
Keputusan untuk menggunakan rupiah digital menunjukkan arah potensial dalam implementasi.
Tetapi ada hal yang perlu diperhatikan terkait penerapannya, misalnya menjaga hak privasi konsumen dan memberikan transparansi yang diperlukan untuk mencegah aktivitas kriminal, serta membangun model perantara yang tepat.
Di bawah model perantara, sektor swasta akan menawarkan akun atau dompet digital untuk memfasilitasi pengelolaan kepemilikan dan pembayaran CBDC.
Model perantara akan memfasilitasi penggunaan kerangka kerja manajemen identitas dan privasi yang ada di sektor swasta.
Juga memanfaatkan kemampuan sektor swasta untuk berinovasi dan mengurangi prospek gangguan destabilisasi sistem keuangan.
Agar CBDC berfungsi sebagai alat pembayaran yang bisa diakses secara luas, CBDC harus bisa dengan mudah dipindahtangankan antara pelanggan/konsumen dari perantara berbeda.
Kemampuan untuk mentransfer nilai secara mulus antara perantara berbeda membuat sistem pembayaran lebih efisien dengan memungkinkan uang bergerak bebas di seluruh sektor perekonomian.
Lembaga keuangan perlu tunduk pada aturan ketat yang dirancang untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.
CBDC perlu dirancang untuk mematuhi aturan ini. Artinya, perantara CBDC perlu memverifikasi identitas orang yang mengakses CBDC, seperti halnya bank dan lembaga keuangan lainnya yang saat ini memverifikasi identitas pelanggan mereka.