Tentu saja kepemimpinan Pancasila memiliki tantangan-tantangan yang harus kita selesaikan bersama. Akan tetapi, dua fakta ini menunjukkan bahwa Pancasila memang sudah ajeg dan tidak bisa diganggu gugat.
Survei dari SMRC tahun 2021 tentang sikap terhadap Pancasila menunjukkan bahwa 82 persen masyarakat menganggap Pancasila adalah rumusan terbaik yang pernah dibuat dan tidak boleh diubah atas dasar apapun. Selain itu, 77 persen juga mengakui bahwa pemerintah tidak boleh dijalankan atas dasar ajaran satu agama saja, melainkan menurut kesamaan di antara berbagai agama yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun, permasalahannya lebih ke tatanan praktis, sikap bermasyarakat. Survei dari Wahid Institute tahun 2020 menunjukkan, tingkat intoleransi di masyarakat meningkat dari 47 persen menjadi 54 persen.
Satu tahun sebelumnya, yakni di tahun 2019, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan banyak hal terkait sikap intoleransi di masyarakat. Pertama, 37,2 persen responden muslim setuju bahwa umat agama minoritas di Indonesia harus mengikuti kemauan atau kehendak agama mayoritas. Kedua 67,4 persen responden muslim setuju/sangat setuju pemerintah mengutamakan agama Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara. Dasar argumennya adalah Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Ketiga, sebanyak 53 persen muslim keberatan apabila warga dari agama selain Islam membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya.
Intoleransi yang terjadi di masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi kepemimpinan Pancasila. Terlebih, kepemimpinan Pancasila mengedepankan keberagaman, yang membuat masalah ini berlawanan dengan elemen kepemimpinan Pancasila. Oleh karena itu, intoleransi menjadi concern bersama dan setiap pemimpin lintas sektor perlu mempromosikan nilai toleransi dan keberagaman agar isu ini tidak lagi ada di masyarakat.
Selain masalah intoleransi, isu lainnya adalah Pancasila belum menjadi state of the art dalam bermasyarakat. Menurut survei dari Media Survei Nasional (Median) tahun 2021, sebanyak 49 persen responden menyatakan Pancasila masih belum dipraktikkan secara baik dan benar. Sedangkan yang menganggap sudah diterapkan dengan baik dan benar hanya 44,6 persen. Indikator yang menunjukkan bahwa Pancasila masih belum diterapkan dengan baik dan benar antara lain korupsi yang semakin membesar (25 persen ) dan masalah kesenjangan ekonomi (15,4 persen).
Penerapan nilai Pancasila juga belum terlihat di ranah digital. Ini divalidasi dengan Digital Civility Index (DCI) yang dikeluarkan Microsoft. Tahun 2021, skor DCI Indonesia ada di angka 76, menempati peringkat terendah di antara negara-negara Asia Tenggara. Orang dewasa menjadi kontributor terbesar bagi memburuknya skor DCI Indonesia, yakni 83 persen. Remaja menjadi kontributor kedua terbesar dengan mencapai angka 68 prsen.
Apabila dipetakan lebih detail, ada beberapa hal yang memengaruhi risiko kesopanan digital di Indonesia. Resiko paling besar dipengaruhi oleh hoaks dan penipuan dengan 47 persen, ujaran kebencian dengan 27 persen, dan diskriminasi dengan 13 persen.
Hasil riset di atas sedikit banyaknya menunjukkan bahwa kepemimpinan Pancasila akan mendapatkan tantangan yang cukup menantang. Tantangannya tidak lagi hanya ada di dunia nyata semata, melainkan di dunia maya. Dua dunia itu, dunia nyata dan maya, membutuhkan pendekatan penyelesaian yang berbeda, karena cara hidup dan beraktivitasnya juga berbeda.
Namun, di sisi lain, ini menjadi peluang untuk mendemonstrasikan nilai-nilai Pancasila di dunia nyata dan maya. Pemimpin Pancasila perlu merumuskan langkah-langkah agar masyarakat bisa mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dengan lebih holistik. Oleh karena itu, kepemimpinan Pancasila menjadi semakin relevan di abad ini.
Dari sejarah dan semua masalah yang terjadi di masyarakat kita hari ini, kepemimpinan Pancasila menjadi semakin relevan. Kepemimpinan Pancasila mempelajari bagaimana sejarah bangsa yang kental akan praktik gotong royong dari para tokoh bangsa. Dalam hal nilai praktiknya, kepemimpinan Pancasila dengan kata lain memiliki dimensi etika, akhlak-moral, sifat tidak mementingkan diri sendiri, dan berpendirian teguh. Kepemimpinan Pancasila memiliki hubungan leaders - followers yang sangat harmonis. Yang paling penting, kepemimpinan Pancasila adalah kepemimpinan gotong royong atas dasar keikhlasan dan solidaritas.
Tantangan hari ini memang menjadi lebih kompleks dengan kehadiran teknologi yang berdampak signifikan bagi kehidupan masyarakat. Teknologi membuat masyarakat terekspos dengan berbagai nilai, ideologi, dan keyakinan yang berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat akan banyak hal. Akan tetapi, melihat kenyataan yang terjadi bahwa masyarakat Indonesia masih belum menerima keberagaman, menjadikan kepemimpinan Pancasila semakin relevan untuk dipraktikkan. Kepemimpinan Pancasila yang humanis, merangkul keberagaman, dan memiliki ikatan harmonis yang mengedepankan prinsip gotong royong, serta mempunyai visi yang jauh ke depan menjadi aset yang berharga untuk menyelesaikan problematika yang terjadi di ranah domestik maupun global.
Kabar baiknya adalah, saya melihat anak muda saat ini mewarisi semangat para tokoh bangsa kita. Banyak inisiatif yang mereka buat berdampak luas bagi masyarakat yang menjadi targetnya. Selain itu, mereka aktif dalam mempromosikan nilai-nilai baik Indonesia di kancah internasional. Terlebih lagi, anak muda yang saya lihat sangat merangkul keberagaman. Sikap dan kontribusi mereka yang menakjubkan membuat kita berharap sangat tinggi terhadap anak muda. Harapan itu harus diimbangi dengan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya untuk menempati posisi strategis di berbagai sektor.
Melihat fenomena sejarah, data, penulis merasa bahwa kepemimpinan yang berasaskan Pancasila ini harus dilestarikan bahkan diperkuat. Tantangan zaman akan semakin sulit ke depannya. Skalanya tidak hanya nasional, melainkan global. Perubahan iklim menjadi satu isu yang krusial untuk diselesaikan. Indonesia bisa berperan banyak di isu ini jika semua rakyat bergotong royong.
Dengan mengimplementasikan nilai-nilai dalam elemen kepemimpinan Pancasila, saya yakin kita dapat melewati berbagai tantangan dan problematika yang ada di depan. Kita sudah membuktikan itu, terutama ketika berbicara pandemi. Pandemi menunjukkan jati diri bangsa sebagai negara gotong royong, yang mengutamakan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan golongan.
Oleh karena itu, saya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menguatkan sikap gotong royong dalam diri kita dan memberikan aksi nyata sesuai kapasitas dan kekuatannya. Dengan cara gotong royonglah, kita bisa menjadi bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Mari kita berkarya untuk bangsa!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.