Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

28 Tahun Tsunami Banyuwangi, 215 Jiwa Meninggal Dunia

Kompas.com - 02/06/2022, 18:05 WIB
Diva Lufiana Putri,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hari ini 28 tahun lalu, tepatnya 2 Juni 1994 pukul 18.17 WIB, gempa berkekuatan 7,8 skala Richter mengguncang Samudra Hindia.

Selang 7 jam sejak gempa bumi terjadi, gelombang tsunami setinggi 13 meter mengguyur pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan, gempa besar tersebut bersumber dari zona megathrust.

Gempa kemudian memicu tsunami yang melanda Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi, Banyuwangi, Jawa Timur.

"(Tsunami) menyebabkan korban meninggal mencapai 215 jiwa," kata Daryono saat dihubungi Kompas.com, Kamis (2/6/2022).

Baca juga: Pesona Pantai Plengkung, Tuan Rumah Kompetisi Selancar Dunia WSL Banyuwangi 2022

Tsunami dini hari

Tsunami tersebut menewaskan banyak orang, hingga Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyuwangi, Abdul Kadir, mengaku tak akan pernah melupakan tragedi ini.

Kala itu, usianya masih 29 tahun dan sedang menjabat sebagai Kepala Desa Sarongan, salah satu desa terdampak.

Pada saat kejadian, Kadir masih terjaga di rumahnya yang berjarak 3 kilometer dari pantai.

Jumat, 3 Juni 1994 dini hari sekitar pukul 01.00 WIB, warganya yang bernama Sujai mengetuk pintu rumahnya berulang kali.

Sambil menangis, Sujai melaporkan bahwa wilayah pesisir Desa Sarongan, area Pantai Rajegwesi, diterjang banjir yang merobohkan pohon-pohon.

Musim kemarau dan tak adanya hujan saat itu, membuat Kadir tak langsung percaya ucapan warganya.

"Hampir 30 menit saya mikir bagaimana mungkin bisa ada banjir di musim kemarau. Akhirnya saya ambil celurit untuk jaga-jaga dan menuju pantai," kata Kadir kepada Kompas.com, Rabu (2/5/2021).

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tsunami 80 Meter Terjang Ambon, Ribuan Orang Tewas

IlustrasiStockSnap/Pixabay Ilustrasi

Kadir pun menuju area Pantai Rajegwesi bersama salah satu stafnya bernama Gunoto mengendarai sepeda motor.

Benar saja, semakin mendekat ke pantai, ia melihat banyak pohon tumbang terseret air.

Saat ia menyalakan lampu senter ke permukiman, dilihatnya permukiman penduduk yang sudah rata dengan tanah.

Kadir bersama temannya kemudian mendekat ke pantai untuk melakukan penyisiran. Tepat saat dia menyorot senter ke arah laut, ia melihat gelombang besar dari kejauhan.

"Kami lari sekencangnya menjauhi pantai. Saat itu, saya diterjang gelombang setinggi dada. Saya selamat dan pergi ke masjid untuk melihat warga yang mengungsi," tutur dia.

Di tengah kegelapan malam, semua warga selamat berkumpul di masjid. Tak sedikit yang kebingungan mencari keluarganya dan menerka-nerka bencana apa yang tengah menerjang desa.

"Saat itu tahunya ya banjir segoro (laut). Belum tahu ada istilah tsunami. Semua panik, malam sampai pagi, yang selamat cari keluarganya ke sana ke mari," kata Kadir.

Kadir pun memutuskan penyisiran dilakukan saat hari mulai terang, lantaran takut ada gelombang susulan.

Pasalnya, menurut laporan warga, gelombang tinggi yang menerjang pantai tak hanya sekali. Namun, berulang kali dengan ketinggian berbeda-beda.

Baca juga: Unesco Tetapkan Tanjung Benoa Jadi Komunitas Siaga Tsunami

Penyebab tsunami

Dilansir dari Kompas.com, Kepala Sub Bidang Analisa Geofisika pada kantor BMG, Taufik Rivai Dea menuturkan, tsunami bisa terjadi akibat subduksi pada patahan normal di lautan.

Yakni, anjloknya tepi lempeng yang satu lebih rendah dari tepi lainnya yang berada di bawah daratan.

Penurunan permukaan itu menyebabkan permukaan air laut menurun karena sebagian mengisi permukaan yang anjlok.

Namun, air tersebut kemudian berbalik menuju daratan bersama dengan gelombang laut di belakangnya. Inilah yang menyebabkan gelombang pasang lebih tinggi dari biasanya.

Taufik menguraikan, di selatan Pulau Jawa terdapat pertemuan lempeng antara lempeng India-Australia dan lempeng Eurasia atau Eropa-Asia.

Pertemuan keduanya, terbentang menyusuri perairan di selatan Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, kemudian berbelok ke Kepulauan Maluku.

"Lempeng India-Australia bergerak lebih aktif ke utara mendesak lempeng Eurasia," jelas Taufik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com