Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Digitalisasi Pendidikan, Problem Budaya dan Jerat Kemiskinan

Kompas.com - 14/03/2022, 14:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berhadapan dengan para siswa yang memiliki akses gratis ke berbagai sumber informasi dan pengetahuan, tak jarang membuat menjadi gamang dan kurang percaya diri. Mereka terpaksa meluangkan banyak energi dan waktu untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih interaktif dan lebih menarik berdasarkan teknologi digital. Sebab metode pembelajaran tradisional tak berlaku lagi.

Shipp dan Noula  (2017) misalnya menyebutkan bahwa digitilisasi pendidikan menimbulkan beberapa konsekuensi negatif bagi pendidik dan peserta didik sekaligus. Di antaranya adalah hilangnya kemampuan mental (emosi dan afeksi), penurunan keterampilan interpersonal (sosial), hilangnya minat membaca buku dan kemampuan untuk memahami teks-teks ilmiah yang jelimet, kecanduan layar, dan perkembangan radiasi dan kanker yang makin tinggi.

Studi oleh Curry School of Education and Human Development, University of Virginia, AS (2020), menunjukkan bahwa siswa yang belajar online memiliki kinerja yang lebih buruk dan mengalami lebih banyak kesulitan dibandingkan dengan siswa intramural (pembelajaran tatap muka).

Sementara studi yang dilakukan di Rusia menemukan bahwa digitalisasi pendidikan membuat para pendidik mengalami depresi karena tak kuasa mengikuti perubahan teknologi sehingga tak memiliki cara efektif untuk berbagi pengetahuan, wawasan, dan keterampilan dengan para peserta didiknya.

Repotnya lagi, kampus yang menerapkan digitalisasi terbukti menghasilkan lebih banyak lulusan dengan kepribadian teralienasi, kurang berpendirian dan tak punya visi strategis. Studi lain menunjukkan bahwa kegagalan untuk mengintegrasikan teknologi secara tepat ke dalam proses pendidikan dapat merugikan siswa ketika mereka memasuki pasar tenaga kerja.

Berbagai dampak negatif sebagaimana ditemukan dalam sejumlah studi tersebut menimbulkan kekuatiran tersendiri perihal jati diri dan martabat manusia serta peradaban umat manusia di masa depan.

Kekuatiran tersebut beralasan karena pendidikan penting untuk memunculkan generasi atau warga masyarakat yang memiliki inspirasi dan motivasi untuk berinovasi, memiliki karakter yang inklusif, peduli dan solider, dan punya visi dunia menjadi lebih baik,  lebih damai, lebih sejahtera dan beradab.

Masalah budaya

Dari perspektif kebudayaan, digitalisasi pendidikan memendam masalah serius. Terkait kebudayaan, banyak yang mengira bahwa digitalisasi pendidikan itu bermasalah terutama karena masyarakat belum siap secara budaya untuk masuk ke budaya literasi digital.

Mereka kuatir bahwa digitalisasi pendidikan tak bisa berjalan dengan mulus karena masyarakat kita masih tertatih-tatih membangun budaya literasi. Apalagi, faktanya, saat literasi dasar (membaca) belum terbentuk, masyarakat kita sudah dijejali dengan sebuah tuntutan baru yaitu membangun literasi digital.

Sejatinya, masalah yang lebih substansial, bukan soal peralihan dari literasi dasar ke literasi digital, tetapi pada proses kebudayaan itu sendiri. Dalam studi kebudayaan, istilah ‘suksesi’ itu tidak selalu disebutkan. Padahal, kebudayaan itu tercipta dan berkembang melalui ‘suksesi’ yang terjadi melalui interaksi antara generasi yang lebih tua dan yang lebih muda. Secara bersama-sama, dalam proses interaksi itu kedua generasi itu berangang-angan dan saling mendukung dan melengkapi untuk membangun masa depan.

Filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) misalnya, menggunakan metode dialektis untuk menekankan kontinuitas budaya. Wadah sekaligus proses suksesi dan pelakanaan metode dialektis yang efektif demi kontinuitas budaya adalah pendidikan intramural (pembelajaran tatap muka).

Berbagai studi terbaru bahkan membuktikan bahwa digitalisasi pendidikan (pembelajaran online) telah memerosotkan proses suksesi dan pelaksanaan dialektika, sehingga berpotensi menggagalkan proses suksesi dan transmisi nilai-nilai budaya secara efektif.

Jerat kemiskinan

Kemiskinan adalah masalah serius lain yang mewarnai digitalisasi pendidikan. Terkait digitaliasi pendidikan, kemiskinan menampakkan wajahnya melalui dua pihak. Pertama, pihak penyelenggara dan pengolela sekolah; dan elemen kedua adalah orang tua siswa (masyarakat).

Di Indonesia, terdapat ribuan sekolah dan perguruan tinggi swsta (PTS). Data statistik 2021, menyebutkan jumlah sekolah swasta (SD-SMA/K) mencapai 53.938 unit atau 24,47 persen dari total jumlah sekolah di Indonesia.

Jumlah siswanya 10.680.786 orang. Meski demikian, sekolah-sekolah swasta itu umumnya dimiliki oleh yayasan pendidikan (penyelenggara) dan kepala sekolah bersama tim (pengelola) dengan kekuatan finansial yang minim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com