Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Rezim Otoritarian adalah Kejahatan Kemanusiaan

Kompas.com - 04/03/2022, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam kasus lain, dukungannya jauh lebih langsung. Selama protes tahun 2020 terhadap pemilu curang di Belarus, Kremlin mengirim propagandis Rusia untuk menggantikan pemogokan jurnalis Belarusia, dan menawarkan pasukan keamanannya untuk mendukung pembubaran demonstrasi dengan kekerasan oleh otoritas Belarusia.

Baca juga: China dan Rusia Sediakan Jet Tempur ke Militer Myanmar untuk Serang Warga Sipil

Bahkan, pengamat pemilu dari Rusia telah menganggap pemungutan suara itu kredibel, meskipun kandidat oposisi dipenjarakan dan kampanye sensor ketat terhadap media independen. Sementara itu, sekutu seperti pemerintah Kuba membela rezim Belarusia di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, di mana 68 persen anggota saat ini adalah negara-negara ‘Bebas Sebagian’ atau pun ‘Tidak Bebas’.

Walau terjadi kekerasan mengerikan yang terkait dengan kudeta militer 2021 di Myanmar, Beijing mencegah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan kecaman yang lebih keras atas perebutan kekuasaan, dan Moskwa telah berusaha untuk memperkuat hubungan ekonomi dengan junta. Para pemimpin kudeta di Sudan juga dapat mengandalkan teman-teman otokratis mereka untuk dukungan diplomatik dan lainnya, dengan utusan China dan Rusia bekerja untuk meredakan tanggapan di PBB.

Ada pula bukti bahwa mereka berlolaborasi dalam bidang intelijen. Pemerintah Kirgistan misalnya membantu dinas intelijen Turki dalam penculikan Orhan Nand pada Mei 2021, yang menyerahkannya ke Turki untuk menghadapi tuduhan terorisme.

Jenis kolaborasi lain antara otoriter dapat membahayakan seluruh kelompok etnis. Turki pernah menjadi surga bagi penduduk Uyghur yang dianiaya di China, yang bahasa dan budayanya mirip dengan orang-orang Turki.

Tetapi Erdogan, yang dihadapkan dengan ekonomi yang sakit mengubah pendiriannya untuk memenuhi tuntutan Beijing. Pihak berwenang Turki telah mempersulit orang Uyghur untuk mendapatkan dan mempertahankan izin tinggal permanen, dan beberapa ratus dari mereka telah ditahan di pusat-pusat deportasi Turki.

Rezim otoritarian membawa penderitaan

Wajah rezim otoritarian, tak hanya jelek, tapi juga kotor dan menebarkan ketakutan, kemiskinan, bahkan kematian pada warga sipil.

Rezim Erdogan di Turki misalnya telah menutup 149 media, menutup lebih dari 2.000 sekolah dan universitas, memecat lebih dari 120.000 pegawai negeri sipil dan memenjarakan lebih dari 45.000 orang yang diduga pembangkang.

Di Korea Utara, Kim Jong Un sudah bertahun-tahun memperlihatkan pemerintahan paling totaliter di Bumi. Rezim ini mencuci otak 25 juta orang dan meneror mereka dengan eksekusi publik, kelaparan paksa dan jaringan luas kamp konsentrasi yang mengingatkan penyelidik PBB tentang Nazi Jerman dan Kamboja di bawah Pol Pot.

Rezim junta militer Myamar dengan Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing pun demikian. Setelah mengkudeta pemerintahan sipil, rezim Min Aung Hlaing bertindak semena-mena.

Menurut The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), sebanyak 1463 "pahlawan" tercatat meninggal dunia dalam berbagai insiden terkait langsung dengan kudeta. Adapun lembaga pemantau konflik, The Armed Conflict Location & Event Data Project (ACLED), menyebut angka kematian secara umum mencapai lebih dari 11.000 orang.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat sebanyak 1,6 juta penduduk kehilangan mata pencaharian sejak kudeta setahun silam. Sementara PBB mengabarkan, 350.000 penduduk Myanmar ini berstatus pengungsi domestik.

Fredoom House (2001), menyebutkan secara global, dalam periode 15 tahun terakhir, jumlah negara yang berstatus ‘tidak bebas’mencapai 73 negara, mewakili 75 persen dari populasi global. Mereka yang terkena dampak tidak hanya negara-negara otoriter seperti China, Rusia, Belarusia, dan Venezuela, tetapi juga negara-negara demokrasi bermasalah di benua Amerika, Asia, dan Afrika.

Rezim otoritarian ala Vladimir Putin

Pada Juli 2021, Celeste A Wallander merilis sebuah artikel di Journal of Democracy. Artikel bertajuk ‘How the Putin Regime Really Works” merujuk ke dua buku tentang Putin. Buku pertama, karya Kathryn E Stoner berjudul Russia Resurrected: Its Power and Purpose in a New Global Order, terbutan New York: Oxford University Press, (2021). Buku kedua, karya Timothy Frye, berjudul Weak Strongman: The Limits of Power in Putin’s Russia terbitan Princeton University Press, (2021).

Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah Presiden Putin seorang diktator yang sangat berkuasa, dan ancanam demokrasi yang harus ditakuti? Atau, apakah rezim Rusia akan diberhentikan sebagai bayangan pucat masa lalu Soviet dan Tsar, hidup dari hidrokarbon dan cadangan nuklir era Perang Dingin?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com