Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Leaducation dan Prioritas Kesehatan Mental

Kompas.com - 12/09/2021, 09:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ini merupakan tren yang bagus bahwa organisasi memberi perhatian pada isu kesehatan mental. Ada sense of responsibility. Organisasi memiliki kesadaran untuk memastikan kondisi anggotanya baik-baik saja. 

Namun sayangnya, kepedulian itu tidak dibarengi dengan strategi. Deloitte 2021 mengatakan, 61 persen organisasi tidak punya strategi yang komprehensif. Strategi mereka hanya ad hoc dan reaktif. Organisasi tidak memiliki kerangka tetap untuk menanggapi isu ini.

Riset CIPD 2021 mengungkapkan, 50 persen organisasi tidak punya strategi yang komprehensif. Hal ini juga tercermin pada fakta anggaran yang dialokasikan. Menurut CIPD 2021, 59 persen organisasi tidak mengubah besaran anggaran. Hanya 28% organisasi yang meningkatkan anggarannya.

Ketiadaan strategi yang komprehensif tentu saja memengaruhi treatment organisasi terhadap anggota. Jika demikian, organisasi bisa kehilangan talenta-talenta terbaik mereka. 

Di sisi lain, masalah mental, terutama burnout, terus dialami anggota. Survei Indeed 2020 menemukan, 67 persen responden tingkat burnout-nya memburuk.

Survei British Medical Attention 2021 menemukan fakta yang sangat menarik. Sebanyak 25 persen responden mengatakan bahwa mereka ingin career break dan 32 persen menginginkan pensiun dini.

Gallup juga mengeluarkan survei dengan judul yang menarik, The Well-being Engagement Paradox of 2020. Survei itu menemukan, para remote workers justru mengalami tingkat stres yang lebih tinggi (59 persen) dibandingkan yang tidak bekerja di rumah (51 persen).

Di Indonesia, CNN Indonesia juga mengadakan polling di media sosial. Hasilnya,  77,3 persen responden mengaku pernah mengalami gejala burnout. Penyebabnya ada dua: harus standby 24 jam (46,7 persen) dan banyak limpahan pekerjaan (38,7 persen).

Melihat dua sudut pandang di atas, organisasi dan anggota, kita melihat ada kontradiksi. Meski organisasi sudah memikirkan dan bahkan memprioritaskan kesehatan mental, nyatanya, para anggota tetap merasakan stres, tak sedikit yang menginginkan cuti panjang bahkan pensiun dini.

Mungkin ini yang menyebabkan the great resignation. Tingkat stres faktanya memang tinggi. Apalagi, pandemi tak kunjung selesai. Kita terus bekerja di rumah. Sementara,  varian baru virus Corona terus saja bermunculan, beberapa disebut lebih kebal terhadap vaksin. Ini membuat beban stres bertambah.

Maka, The Great Resignation bisa dikatakan wajar karena anggota mementingkan kesehatan mentalnya dibanding karier atau pekerjaannya.

Ada korelasi positif antara kesehatan anggota dengan performa. Wienecke, et.al. (2018) menemukan, komitmen organisasi atas kesehatan mental anggota akan menguntungkan anggota dan organisasi.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang komprehensif agar para anggota bisa bekerja maksimal.

Seorang leaducator tentu perlu memiliki strategi yang tepat dan holistik yang menyasar berbagai permasalahan mental yang dialami anggota. Perlu diingat, tidak ada formulasi jitu yang bisa diterapkan pada semua orang. Setiap orang punya masalah yang berbeda yang membutuhkan penanganan yang berbeda.

Apa yang bisa dilakukan?

Jeanne Meister memberikan perspektif menarik dalam artikelnya di Forbes. Dia menjelaskan, ada tujuh dimensi well-being bagi para anggota: karier, finansial, sosial, komunitas, tujuan, emosional, dan fisik.

Karena anggota merupakan aset, memahami dimensi-dimensi ini sangat penting dalam perencanaan strategis sehingga organisasi bisa melakukan mitigasi masalah kesehatan mental dengan baik.

Akan tetapi perlu dipahami, tidak semua masalah anggota bisa diselesaikan oleh organisasi. Masalah kesehatan mental memang sangat personal.

Dalam semua aspek ini, ada beberapa yang bisa diupayakan agar organisasi bisa mempertahankan anggotanya dengan memberikan fasilitas yang dibutuhkan.

Misalnya, dalam aspek finansial. ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti memberikan gaji atau tunjangan kesehatan. Bantuan dari organisasi akan mengurangi beban finansial dari anggota dan membantu menyelesaikan sedikit permasalahan mereka.

Kemudian, dalam aspek karier. Ada hubungan erat antara karier dan tujuan hidup. Satu pertanyaan seperti "apakah saya menyukai pekerjaan saat ini?" akan menghasilkan jawaban yang ujungnya berkaitan dengan tujuan dan misi hidup kita. 

Setiap manusia memiliki misi tertentu yang harus dipenuhi. Konteks seperti ini yang harus dipikirkan organisasi, bagaimana menghubungkan pekerjaan yang dilakoni dengan misi anggota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Catat, Ini 4 Suplemen yang Bisa Sebabkan Kepala Pusing

Catat, Ini 4 Suplemen yang Bisa Sebabkan Kepala Pusing

Tren
Cerita Ed Dwight, Butuh 60 Tahun Sebelum Wujudkan Mimpi Terbang ke Luar Angkasa

Cerita Ed Dwight, Butuh 60 Tahun Sebelum Wujudkan Mimpi Terbang ke Luar Angkasa

Tren
Kisah Bocah 7 Tahun di Nepal Tak Sengaja Telan Pensil Sepanjang 10 Cm

Kisah Bocah 7 Tahun di Nepal Tak Sengaja Telan Pensil Sepanjang 10 Cm

Tren
Lulusan SMK Sumbang Pengangguran Terbanyak, Menaker: Selama Ini Memang 'Jaka Sembung'

Lulusan SMK Sumbang Pengangguran Terbanyak, Menaker: Selama Ini Memang "Jaka Sembung"

Tren
Penelitian Ungkap Mikroplastik Sekarang Terdeteksi di Testis Manusia

Penelitian Ungkap Mikroplastik Sekarang Terdeteksi di Testis Manusia

Tren
Kuning Telur Direbus hingga Keabuan Disebut Tidak Sehat, Benarkah?

Kuning Telur Direbus hingga Keabuan Disebut Tidak Sehat, Benarkah?

Tren
Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Presiden Iran Meninggal, Apa Pengaruhnya bagi Geopolitik Dunia?

Tren
Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tanda Seseorang Kemungkinan Psikopat, Salah Satunya dari Gerakan Kepala

Tren
5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

5 Pillihan Ikan untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Bantu Tubuh Lebih Sehat

Tren
Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Apakah Masyarakat yang Tidak Memiliki NPWP Tak Perlu Membayar Pajak?

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 21-22 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

[POPULER TREN] Kasus Covid-19 di Singapura Naik Hampir Dua Kali Lipat | Ayah dan Anak Berlayar Menuju Tempat Terpencil di Dunia

Tren
Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Apa Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi di Iran?

Tren
Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Jadwal dan Susunan Peringatan Waisak 2024 di Borobudur, Ada Festival Lampion

Tren
Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Berkaca dari Kasus Wanita Diteror Teman Sekolah di Surabaya, Apakah Stalker atau Penguntit Bisa Dipidana?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com