Ini merupakan tren yang bagus bahwa organisasi memberi perhatian pada isu kesehatan mental. Ada sense of responsibility. Organisasi memiliki kesadaran untuk memastikan kondisi anggotanya baik-baik saja.
Namun sayangnya, kepedulian itu tidak dibarengi dengan strategi. Deloitte 2021 mengatakan, 61 persen organisasi tidak punya strategi yang komprehensif. Strategi mereka hanya ad hoc dan reaktif. Organisasi tidak memiliki kerangka tetap untuk menanggapi isu ini.
Riset CIPD 2021 mengungkapkan, 50 persen organisasi tidak punya strategi yang komprehensif. Hal ini juga tercermin pada fakta anggaran yang dialokasikan. Menurut CIPD 2021, 59 persen organisasi tidak mengubah besaran anggaran. Hanya 28% organisasi yang meningkatkan anggarannya.
Ketiadaan strategi yang komprehensif tentu saja memengaruhi treatment organisasi terhadap anggota. Jika demikian, organisasi bisa kehilangan talenta-talenta terbaik mereka.
Di sisi lain, masalah mental, terutama burnout, terus dialami anggota. Survei Indeed 2020 menemukan, 67 persen responden tingkat burnout-nya memburuk.
Survei British Medical Attention 2021 menemukan fakta yang sangat menarik. Sebanyak 25 persen responden mengatakan bahwa mereka ingin career break dan 32 persen menginginkan pensiun dini.
Gallup juga mengeluarkan survei dengan judul yang menarik, The Well-being Engagement Paradox of 2020. Survei itu menemukan, para remote workers justru mengalami tingkat stres yang lebih tinggi (59 persen) dibandingkan yang tidak bekerja di rumah (51 persen).
Di Indonesia, CNN Indonesia juga mengadakan polling di media sosial. Hasilnya, 77,3 persen responden mengaku pernah mengalami gejala burnout. Penyebabnya ada dua: harus standby 24 jam (46,7 persen) dan banyak limpahan pekerjaan (38,7 persen).
Melihat dua sudut pandang di atas, organisasi dan anggota, kita melihat ada kontradiksi. Meski organisasi sudah memikirkan dan bahkan memprioritaskan kesehatan mental, nyatanya, para anggota tetap merasakan stres, tak sedikit yang menginginkan cuti panjang bahkan pensiun dini.
Mungkin ini yang menyebabkan the great resignation. Tingkat stres faktanya memang tinggi. Apalagi, pandemi tak kunjung selesai. Kita terus bekerja di rumah. Sementara, varian baru virus Corona terus saja bermunculan, beberapa disebut lebih kebal terhadap vaksin. Ini membuat beban stres bertambah.
Maka, The Great Resignation bisa dikatakan wajar karena anggota mementingkan kesehatan mentalnya dibanding karier atau pekerjaannya.
Ada korelasi positif antara kesehatan anggota dengan performa. Wienecke, et.al. (2018) menemukan, komitmen organisasi atas kesehatan mental anggota akan menguntungkan anggota dan organisasi.
Oleh karena itu, dibutuhkan strategi yang komprehensif agar para anggota bisa bekerja maksimal.
Seorang leaducator tentu perlu memiliki strategi yang tepat dan holistik yang menyasar berbagai permasalahan mental yang dialami anggota. Perlu diingat, tidak ada formulasi jitu yang bisa diterapkan pada semua orang. Setiap orang punya masalah yang berbeda yang membutuhkan penanganan yang berbeda.
Jeanne Meister memberikan perspektif menarik dalam artikelnya di Forbes. Dia menjelaskan, ada tujuh dimensi well-being bagi para anggota: karier, finansial, sosial, komunitas, tujuan, emosional, dan fisik.
Karena anggota merupakan aset, memahami dimensi-dimensi ini sangat penting dalam perencanaan strategis sehingga organisasi bisa melakukan mitigasi masalah kesehatan mental dengan baik.
Akan tetapi perlu dipahami, tidak semua masalah anggota bisa diselesaikan oleh organisasi. Masalah kesehatan mental memang sangat personal.
Dalam semua aspek ini, ada beberapa yang bisa diupayakan agar organisasi bisa mempertahankan anggotanya dengan memberikan fasilitas yang dibutuhkan.
Misalnya, dalam aspek finansial. ada beberapa hal yang bisa dilakukan seperti memberikan gaji atau tunjangan kesehatan. Bantuan dari organisasi akan mengurangi beban finansial dari anggota dan membantu menyelesaikan sedikit permasalahan mereka.
Kemudian, dalam aspek karier. Ada hubungan erat antara karier dan tujuan hidup. Satu pertanyaan seperti "apakah saya menyukai pekerjaan saat ini?" akan menghasilkan jawaban yang ujungnya berkaitan dengan tujuan dan misi hidup kita.
Setiap manusia memiliki misi tertentu yang harus dipenuhi. Konteks seperti ini yang harus dipikirkan organisasi, bagaimana menghubungkan pekerjaan yang dilakoni dengan misi anggota.