Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawuran Antar Pendukung Paslon Pilkada, Mengapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 29/11/2020, 17:13 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

"Dan itu nanti, kalau sekarang ini kasusnya adalah Pilkada, barangkali tahun depan atau beberapa tahun lagi kasusnya adalah Pilpres, kemudian barangkali kasusnya adalah antar kelompok agama," kata Nurhadi.

Baca juga: 6 Hal Penting soal Pilpres AS 2020, Pertarungan Donald Trump Vs Joe Biden

"Jadi, ini terjadi karena memang masyarakat kita itu cenderung tidak terbiasa menyelesaikan persoalan dan perbedaan secara dialog. Sehingga, seringkali setiap ada masalah itu kemudian harus diselesaikan dengan cara-cara kekerasan," imbuhnya.

Dalam kasus tawuran yang terjadi di Malaka, selain dua faktor yang telah ia paparkan, Nurhadi menduga ada juga faktor bibit-bibit konflik yang sudah tertanam sebelumnya, namun tidak segera ditangani dengan baik.

"Bisa jadi ada masalah-masalah lain yang lebih mengakar di situ. Misalnya saja konflik lama yang kemudian tidak terselesaikan dengan baik, dan konflik itu biasanya ya terkait dengan perebutan sesuatu, baik itu perebutan kekuasaan di masa lampau maupun perebutan akses ekonomi," kata Nurhadi.

"Dan itu akan muncul ketika ada momentum, yang di situ ada pengerahan massa atau terkonsolidasi dalam kelompok-kelompok tertentu," imbuhnya.

Baca juga: Menilik Fenomena Artis dalam Bursa Pilkada...

Kekecewaan yang berkumpul

Nurhadi memaparkan, dalam salah satu literatur tentang gerakan massa, dikatakan bahwa sangat mudah untuk melakukan gerakan dengan membawa orang-orang yang disebut sebagai true believer, atau orang-orang yang bersedia melakukan apapun untuk sesuatu yang diyakininya.

"Orang-orang yang mengalami kekecewaan. Barangkali ada masalah pribadi, masalah keluarga, atau masalah secara makro, dan kemudian bertemu dengan orang lain yang berada di situasi yang sama," kata Nurhadi.

Dia mengatakan, terjadinya konflik karena adanya sesuatu yang diperebutkan. Sehingga, dia menilai bahwa penangkapan orang-orang yang terlibat dalam tawuran di Malaka, tidak akan serta merta menyelesaikan masalah.

"Itu kan konflik yang terjadi pada saat ada peristiwa politik. Namun sebetulnya, saya menduga ada akar yang lebih dalam dari itu. Jadi menurut saya, yang paling pertama digarap itu adalah mencari akar konfliknya," kata Nurhadi.

"Kalau sudah ketemu akar konfliknya, maka kita bisa mencoba mengatasi dari situ. Karena kalau hanya ditangkap saja enggak akan efektif," imbuhnya.

Baca juga: Sungai Nil dan Bayang-bayang Konflik Air Tawar

Masalah jargon populis

Di sisi lain, Nurhadi menyebut bahwa kasus-kasus kekerasan kelompok cenderung besar atau menguat di masyarakat-masyarakat yang kesenjangan ekonominya itu terlalu tinggi.

"Mengapa hal ini bisa menjadi salah satu faktor? Karena ini adalah cermin dari distribusi sumber daya yang tidak merata," kata Nurhadi.

Seperti yang telah ia jelaskan, konflik terjadi karena adanya sesuatu yang diperebutkan, maka orang-orang yang gagal atau kalah dalam perebutan sumber daya kemudian akan menjadi lebih mudah untuk digerakkan.

Baca juga: Menilik Fenomena Artis dalam Bursa Pilkada...

"Kepada jargon-jargon yang populis itu. Digiring, diarahkan, untuk melakukan tindakan-tindakan yang barangkali akan merugikan keselamatan orang lain dan negara secara umum," kata Nurhadi.

"Dan itu seringkali dimanfaatkan oleh elit (politik) celakanya di situ. Ada sebagian elit yang memanfaatkan isu semacam itu (kesenjangan ekonomi) dengan mengkampanyekan jargon-jargon populis. Dulu Trump (Presiden AS) juga menang karena jargon-jargon populis," imbuhnya.

Oleh karena itu, Nurhadi berpendapat bahwa perlu ada aturan atau rambu-rambu bagi para politisi.

"Karena kalau sangat-sangat bebas, maka yang terjadi adalah seperti itu. Mereka bebas menggunakan tema apa saja untuk kemudian menarik massa, dan itu menurut saya tidak sehat bagi demokrasi," pungkasnya.

Baca juga: Trump Akan Tinggalkan Gedung Putih jika Biden Menang pada Suara Electoral College 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com