Sementara itu, mengutip Independent, 4 Desember 2018, sindrom impostor kebanyakan dialami oleh seorang perempuan.
Laki-laki juga ada mengalami sindrom ini, tetapi frekuensinya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan perempuan.
Mereka yang mengalami impostor syndrome disarankan untuk mengikuti terapi. Dari terapi diharapkan bisa mengidentifikasi sumber kecemasan yang mengakibatkan munculnya sindrom.
Psikolog Klinis dari Universitas Gadjah Mada, Tri Hayuning Tyas, menjelaskan, sindrom ini sebagai suatu rasa tidak percaya diri seseorang atas keberhasilannya.
Pengidap sindrom impostor akan merasa keberhasilan yang didapat hanya sebuah kebetulan dan bukan karena kemampuan mereka.
Keberhasilan yang ada adalah tipuan dan mereka sangat takut orang lain akan mengetahui hal yang mereka anggap tipuan itu.
“Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar mampu atau pintar,” kata Nuning, demikian sapaan Tri Hayuning, seperti dimuat di laman resmi UGM, 18 Oktober 2020.
Nuning menegaskan, impostor dalam sindrom ini berbeda dengan impostor yang berasal dari kosa kata bahasa Inggris.
Impostor yang satu itu, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan dengan cara berpura-pura. Tidak demikian dengan sindrom ini.
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menjelaskan, ada sejumlah faktor yang memicu terjadinya sindrom impostor.
Salah satunya adalah pola asuh keluarga yang terlalu mengedepankan pencapaian intelektual dan tidak mengajarkan makna kesuksesan juga kegagalan.
“Akan ada perbandingan antar anak/saudara dan ini menjadi bibit mengembangkan Impostor Syndrome dimana anak merasa apa yang dilakukan tidak pernah cukup baik,” jelas Nuning.
Hal lain yang juga bisa memicu sindrom ini adalah adanya tuntutan dari masyarakat terkait kesuksesan.
Untuk mencegah mengalami sindrom ini, Nuning menyebutkan beberapa kiat kunci.
Kuncinya terletak pada upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukan hal yang utama, yang terpenting adalah melakukan yang terbaik.
Selain itu, penting juga untuk bisa mengenali dan menghargai kemampuan diri sendiri. Selain itu, berani menceritakan perasan daan keraguan yang dialami pada orang yang tepat dan bisa dipercaya.
Jika diperlukan, seseorang dengan sindrom impostor bisa mendatangi layanan psikologi untuk membantunya keluar dari masalah ini.
"Kuatnya pemikiran yang keliru Impostor Syndrome memerlukan intervensi psikologis yang terstruktur, misalnya dengan terapi kognitif behavioral, untuk memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.