Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Luthfia Ayu Azanella
REPORTER

Menjadi jurnalis Kompas.com sejak 2018 dan menjadi bagian dari Tim Cek Fakta Kompas.com sejak 2018 hingga saat ini. Memiliki ketertarikan pada isu-isu politik dan kebudayaan.

Apa Itu Impostor Syndrome?

Kompas.com - 24/10/2020, 19:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com -  Istilah impostor akhir-akhir ini sering muncul sejak permainan Among Us menjadi favorit para pengguna gadget.

Dalam permainan itu, impostor dikenal sebagai pemain penipu yang bertugas mengacaukan permainan dan membunuh karakter lain secara diam-diam.

Dalam dunia psikologi, ternyata ada istilah impostor syndrome atau sindrom impostor.

Apa itu impostor syndrome?

Mengutip Medical News Today29 September 2020, sindrom impostor merupakan sindrom yang bisa dialami oleh siapa saja. Namun, sindrom ini lebih sering dialami oleh mereka yang berprestasi.

Orang yang mengalami impostor syndrome akan merasa ragu terhadap prestasi dan kemampuan dirinya sendiri.

Bahkan, mereka takut bahwa apa yang mereka raih dan bisa kerjakan adalah suatu bentuk penipuan.

Psikolog untuk pertama kalinya menjelaskan soal sindrom impostor ini pada 1978.

Sebagian besar orang hanya mengalaminya dalam waktu yang singkat. Misalnya, saat berada di lingkungan sekolah atau kerja yang baru.

Namun, sebagian yang lain mengalaminya dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidup.

Baca juga: Trik untuk Menang sebagai Impostor dan Crewmate di Among Us

Bagaimana gejala sindrom impostor?

Ada pun gejala yang dialami oleh penderita di antaranya adalah dia merasa sebagai seorang penipu, takut dirinya akan ketahuan, sulit menginternalisasi kesuksesan diri sendiri, dan ragu pada kemampuan diri sendiri.

Jika dibiarkan, gejala-gejala dari sindrom ini tentu dapat mengganggu performa si penderita dalam kehidupan nyatanya.

Misalnya, dalam dunia kerja, ia mungkin akan merasa khawatir. Performanya tidak bisa memenuhi ekspektasi rekan juga atasannya.

Rasa khawatir yang seperti ini bisa menyebabkan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang lebih menantang, karena mereka takut melakukan kesalahan.

Dengan begitu mereka akan mandeg di tingkat itu-itu saja, karena hanya mengerjakan sesuatu yang standar.

Namun, para ahli tidak mengklasifikasikan sindrom ini sebagai gangguan kesehatan mental.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com