KOMPAS.com - Istilah impostor akhir-akhir ini sering muncul sejak permainan Among Us menjadi favorit para pengguna gadget.
Dalam permainan itu, impostor dikenal sebagai pemain penipu yang bertugas mengacaukan permainan dan membunuh karakter lain secara diam-diam.
Dalam dunia psikologi, ternyata ada istilah impostor syndrome atau sindrom impostor.
Mengutip Medical News Today, 29 September 2020, sindrom impostor merupakan sindrom yang bisa dialami oleh siapa saja. Namun, sindrom ini lebih sering dialami oleh mereka yang berprestasi.
Orang yang mengalami impostor syndrome akan merasa ragu terhadap prestasi dan kemampuan dirinya sendiri.
Bahkan, mereka takut bahwa apa yang mereka raih dan bisa kerjakan adalah suatu bentuk penipuan.
Psikolog untuk pertama kalinya menjelaskan soal sindrom impostor ini pada 1978.
Sebagian besar orang hanya mengalaminya dalam waktu yang singkat. Misalnya, saat berada di lingkungan sekolah atau kerja yang baru.
Namun, sebagian yang lain mengalaminya dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidup.
Baca juga: Trik untuk Menang sebagai Impostor dan Crewmate di Among Us
Ada pun gejala yang dialami oleh penderita di antaranya adalah dia merasa sebagai seorang penipu, takut dirinya akan ketahuan, sulit menginternalisasi kesuksesan diri sendiri, dan ragu pada kemampuan diri sendiri.
Jika dibiarkan, gejala-gejala dari sindrom ini tentu dapat mengganggu performa si penderita dalam kehidupan nyatanya.
Misalnya, dalam dunia kerja, ia mungkin akan merasa khawatir. Performanya tidak bisa memenuhi ekspektasi rekan juga atasannya.
Rasa khawatir yang seperti ini bisa menyebabkan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang lebih menantang, karena mereka takut melakukan kesalahan.
Dengan begitu mereka akan mandeg di tingkat itu-itu saja, karena hanya mengerjakan sesuatu yang standar.
Namun, para ahli tidak mengklasifikasikan sindrom ini sebagai gangguan kesehatan mental.
Sementara itu, mengutip Independent, 4 Desember 2018, sindrom impostor kebanyakan dialami oleh seorang perempuan.
Laki-laki juga ada mengalami sindrom ini, tetapi frekuensinya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan perempuan.
Mereka yang mengalami impostor syndrome disarankan untuk mengikuti terapi. Dari terapi diharapkan bisa mengidentifikasi sumber kecemasan yang mengakibatkan munculnya sindrom.
Psikolog Klinis dari Universitas Gadjah Mada, Tri Hayuning Tyas, menjelaskan, sindrom ini sebagai suatu rasa tidak percaya diri seseorang atas keberhasilannya.
Pengidap sindrom impostor akan merasa keberhasilan yang didapat hanya sebuah kebetulan dan bukan karena kemampuan mereka.
Keberhasilan yang ada adalah tipuan dan mereka sangat takut orang lain akan mengetahui hal yang mereka anggap tipuan itu.
“Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar mampu atau pintar,” kata Nuning, demikian sapaan Tri Hayuning, seperti dimuat di laman resmi UGM, 18 Oktober 2020.
Nuning menegaskan, impostor dalam sindrom ini berbeda dengan impostor yang berasal dari kosa kata bahasa Inggris.
Impostor yang satu itu, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan dengan cara berpura-pura. Tidak demikian dengan sindrom ini.
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menjelaskan, ada sejumlah faktor yang memicu terjadinya sindrom impostor.
Salah satunya adalah pola asuh keluarga yang terlalu mengedepankan pencapaian intelektual dan tidak mengajarkan makna kesuksesan juga kegagalan.
“Akan ada perbandingan antar anak/saudara dan ini menjadi bibit mengembangkan Impostor Syndrome dimana anak merasa apa yang dilakukan tidak pernah cukup baik,” jelas Nuning.
Hal lain yang juga bisa memicu sindrom ini adalah adanya tuntutan dari masyarakat terkait kesuksesan.
Untuk mencegah mengalami sindrom ini, Nuning menyebutkan beberapa kiat kunci.
Kuncinya terletak pada upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukan hal yang utama, yang terpenting adalah melakukan yang terbaik.
Selain itu, penting juga untuk bisa mengenali dan menghargai kemampuan diri sendiri. Selain itu, berani menceritakan perasan daan keraguan yang dialami pada orang yang tepat dan bisa dipercaya.
Jika diperlukan, seseorang dengan sindrom impostor bisa mendatangi layanan psikologi untuk membantunya keluar dari masalah ini.
"Kuatnya pemikiran yang keliru Impostor Syndrome memerlukan intervensi psikologis yang terstruktur, misalnya dengan terapi kognitif behavioral, untuk memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan,” ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.