KOMPAS.com - Sulit untuk memastikan dampak jangka panjang terhadap pasien yang pernah menderita Covid-19.
Alasannya, penyakit yang disebabkan oleh virus corona Sars-CoV-2 itu masih tergolong penyakit baru sehingga belum banyak yang diketahui para ilmuwan tentang efek jangka panjangnya.
Satu-satunya sumber informasi terbaik adalah dari pasien itu sendiri.
Beberapa pasien teridentifikasi mengalami berbagai gejala lama bahkan setelah mereka dinyatakan sembuh dari infeksi virus.
Melansir ABC News, kebanyakan pasien pulih dalam beberapa minggu. Untuk orang-orang yang mengalami efek jangka panjang, masalah yang paling umum adalah sering mengalami kelelahan, sakit kepala, kecemasan dan nyeri otot yang dapat bertahan setidaknya untuk beberapa minggu lagi.
Pasien yang membutuhkan perawatan intensif, termasuk yang menggunakan ventilator atau dialisis ginjal, dapat mengalami masalah yang lebih serius.
Luka pada paru-paru dapat terjadi pada orang yang menderita pneumonia.
Peradangan jantung, detak jantung tidak teratur, dan memburuknya fungsi ginjal dan hati juga telah dilaporkan.
Namun, masih terlalu dini untuk menyimpulkan apakah serangkaian efek tersebut bisa menimbulkan masalah permanen.
Baca juga: Kisah Juno, Survivor yang Berjuang Melawan Covid-19 Selama 91 Hari
Beberapa juga mengalami kondisi yang disebut sindrom pasca perawatan intensif, yang mencakup pelemahan kekuatan otot yang persisten dan masalah memori.
Masalah tersebut bisa terjadi setelah menderita penyakit kritis dan mungkin terkait dengan obat-obatan bersifat sedatif dan perawatan yang lama selama rawat inap.
Gumpalan darah juga diketahui dapat terbentuk selama dan setelah infeksi COVID-19, kadang-kadang gumpalan darah ini menyebabkan stroke.
Bahkan, dalam beberapa kasus, obat pengencer darah perlu diresepkan dan pasien harus melakukan perubahan gaya hidup untuk mengurangi risiko perdarahan.
Dr. Thomas McGinn dari Feinstein Institutes for Medical Research di New York, menyebut bahwa seiring berjalannya waktu gejala-gejala tersebut akhirnya menghilang.
“Hanya masalah waktu. Untuk beberapa pasien mungkin butuh waktu lebih lama daripada yang lain," kata McGinn.
Baca juga: Ventilator Buatan UI Lulus Uji Klinis Manusia, Siap Bantu Pasien Covid-19
Melansir Healthline, tidak semua orang yang sembuh dari Covid-10 memiliki risiko yang sama untuk mengalami efek jangka panjang dari infeksi SARS-CoV-2.
“Mereka yang paling berisiko adalah orang berusia 65 tahun ke atas, orang yang tinggal di panti jompo atau fasilitas perawatan jangka panjang, orang dengan penyakit paru-paru kronis, jantung, ginjal, dan hati,” kata Dr. Gary Weinstein, ahli pulmonologi / obat perawatan kritis spesialis di Rumah Sakit Presbyterian Kesehatan Texas Dallas (Texas Health Dallas).
Selain itu, ia mengatakan, yang juga berisiko adalah mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang terganggu dan orang-orang dengan obesitas atau diabetes yang tidak wajar.
Weinstein menambahkan, ada masalah kesehatan tertentu yang mungkin dihadapi pasien dengan penyakit Covid-19 yang parah.
Dia mengatakan, beberapa pasien perlu pulih dari pneumonia atau ARDS (sindrom kesulitan pernapasan) akut dan banyak yang mungkin membutuhkan bantuan tabung oksigen.
Selain itu, tergantung pada lamanya sakit yang diderita. Banyak yang akan merasa fisiknya sangat lemah, tidak terkondisi, dan memerlukan rehabilitasi yang intensif.
"Akhirnya, ketika pasien mengalami gagal paru-paru, mereka sering mengalami kegagalan atau disfungsi organ mereka yang lain, seperti ginjal, jantung, dan otak," kata Weinstein.
Pasien dengan gejala ringan akan pulih lebih cepat dan kecil kemungkinan membutuhkan bantuan tabung oksigen.
Meski demikian, kemungkinan tetap akan merasakan fisik yang melemah dan mudah lelah.
Meskipun menempatkan pasien di ICU rumah sakit dapat menyelamatkan nyawa seorang pasien dengan penyakit parah, tetapi hal itu harus dibayar dengan konsekuensi kesehatan yang signifikan.
Secara umum, orang yang membutuhkan perawatan intensif berada pada risiko yang meningkat untuk masalah kesehatan mental seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, dan depresi ketika mereka tidak lagi menjalani perawatan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Weill Cornell Medicine di New York City.
Para pasien yang telah sembuh mungkin juga memiliki gangguan kognitif yang signifikan dan kemampuan fisik yang terbatas.
“Post-intensif care syndrome (PICS) digunakan untuk menggambarkan pasien yang telah selamat dari penyakit kritis yang parah, dan menjalani perawatan intensif yang diperlukan untuk bertahan hidup. Pasien dapat memiliki beberapa kombinasi gangguan fisik, gangguan kognitif, dan gangguan kejiwaan,” jelas Weinstein.
Gangguan fisik yang bisa terjadi antara lain fisik yang melemah dan kekurangan gizi.
Sementara, gangguan kognitif dapat mencakup penurunan daya ingat, penurunan fokus, dan penurunan ketajaman mental atau kemampuan untuk memecahkan masalah.
Baca juga: Untuk Kali Pertama, Pasien Covid-19 Menerima Transplantasi Paru-paru