Dunia tidak diubah oleh orang-orang yang menciptakan peristiwa-peristiwa besar seperti revolusi dan reformasi, namun dunia diubah oleh mereka yang menciptakan niali-nilai baru secara diam-diam. (Fredreich Neizche)
MENJELANG pencoblosan 14 Februari 2024, pertarungan para calon semakin seru saja. Partai, calon presiden, legislatif dari semua level berdenggung kencang seperti sarang lebah yang dilempar; keluar dari kepengapan dan endapan ide-ide yang telah disusun sebelum kampanye digelar.
Banyak gelagat yang muncul sebagai pertanda genderang pertarungan dalam penguasaan (penjajahan?) opini masyarakat.
Banyak uang yang akan atau telah dihamburkan sebagai bagian dari suatu kemestian dari setiap pesta dan karnaval pemilu. Telah banyak stretegi jujur (hipokrisi?) disusun yang mengerangkeng kepala rakyat untuk memilih apa kemauan kandidat.
Gemuruh kesemuanya akan memecah keheningan dan kedamaian masyarakat yang masih dikhusukkan dengan keterjepitan hidup.
Mereka “dipaksa” untuk ikut bagian dari setiap peristiwa dan karnaval yang kadang-kadang menyuguhkan dagelan-dagelan dan arak-arakan politik.
Mata mereka dipusingkan dengan kepadatan visual, gambar, baliho, umbul-umbul, iklan, bendera, baik di media, di dinding toko atau di sepanjang jalan, bahkan sampai merusak lingkungan (batang kayu).
Mereka digiring dalam batas-batas kewarasannya untuk memilih dan mengikuti irama pertarungan yang warna-warni.
Tidak salah, mengutip Baudrillard, masyarakat dipenjara dalam bentuk keheningan dan kediaman (silent majority).
Mereka acapkali diposisikan sebagai bagian dari sasaran tanpa sepantasnya mereka merespons secara sadar dan kritis atas apa yang mereka mamah dari ide-ide yang kadang kala tidak mereka mengerti.
Masyarakat disuguhkan dengan berbagai macam jargon, istilah, idiom, makna, penafsiran, terminologi dan kemestian yang senyatanya tidak ada dalam kamus keseharian mereka.
Kecenderungan ke arah itu sudah menampakan tubuhnya. Betapa kontradiksinya, dalam level kebahasaan (kampanye) membawa dampak yang menyedihkan pada sudut pandang pengetahuan masyarakat.
Mereka terbenam dalam gelegar kata-kata, celotehan para kandidat. Tak ayal lagi mereka tetap berada pada posisi diam.
Dengan permainan bahasa (languange game) dan sedikit dibumbuhi dengan tanda-tanda, partai atau para kandidat selalu memproduksi, mereproduksi gagasan, program dan segala tetek bengeknya sehingga gaya-gaya terus berputar secara kaleidoskopis dan terus diteriakan dengan lantang.
Partai dan kandidat tidak hanya mencoba mengorganisasi pikirannya, tapi memobilisasi massa diam dalam kampanyenya. Mereka tidak hanya memberikan pendidikan, tetapi juga pembodohan.