Mereka tidak hanya menampilkan ‘kebenaran’, tetapi juga penipuan di sana-sini. Mereka tidak hanya membacakan ‘program-program’, tetapi juga menyampaikan khayalan-khayalan.
Mereka tidak hanya menyuarakan kepentingan bersama, tetapi juga kepentingan dirinya. Mereka tidak hanya ‘menyadarkan’ masyarakat, tetapi juga membutakannya.
Mereka tidak hanya bermain dengan kata-kata, tetapi juga memanipulasinya. Mereka tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga mendistorsinya. Inilah ketidakwarasan.
Dalam praktiknya, kandidat dan partai yang mengusung justru mencela dan membenci kandidat lain dan menggantungakan secara berlebihan harapan, mimpi, dan imaji untuk masa yang akan datang.
Mereka memanfaatkan momen untuk menumbuhkan dalam benak masyarakat citra dan image betapa tidak jelasnya seseorang atau orde sekarang.
Bagi incumbent/orang lama dengan gembira dan percaya diri, yang kadang berlebihan, merinci segala prestasi dan pencapaian sebagai bagian pembumian karakter diri.
Kedua bentuk kandidat tersebut meringsut untuk mengubur masyarakat dalam mimpi-mimpi yang tidak waras perihal orde masa depan.
Banyak kosa kata yang keluar sebagai bagian dari pengukuhan citra ini. Kosa kata yang dipopuler, salah satunya, adalah ‘membangun masyarakat yang lebih baik dan sejahtera, membangun bersama masyarakat, konsisten membangun aqidah, bangkit untuk perubahan, konsisten memperbaiki kesejahteraan guru, generasi baru dengan harapan baru, pengentasan kemiskinan, pintar memilih dan memilih yang pintar, bersama kita kuat, saiyo sakato membangun nagari, terbukti membawa perubahan dan entah apalagi’.
Kata-kata tersebut diluncurkan dengan mulus melalui uraian-uraian indah dan syahdu serta mencampakan penderitaan yang sedang dialami, kepedihan hidup yang dirasakan, kerisauan dan kegagalauan tentang kondisi sekarang, kelaparan, busung lapar dan banyak lagi.
Dengan kata-kata yang manis bahwa kandidat tertentu dengan santun (sombong?) akan segera menuntaskan agenda yang masih terbengkalai/tidak tercapai.
Dengan citra yang disuguhkan masyarakat tidak hanya berpikir dan memahami masyarakat masa depan, tetapi juga seolah-olah dipaksa “membentuk” realitas masa depan sesuai dengan mimpi-mimpi para kandidat.
Mereka dibanjiri citra, makna, simbol, sosok dan jargon akhirnya mereka jatuh dalam medan simbolik karena penguasaan citra oleh partai atau kandidat.
Manipulasi bahasa terjadi di mana-mana, kedistorsian ide berserakan di mana-mana, pemerkosaan citra terpampang, penyimpangan tafsiran, makna dan ungkapan terjadi di mana-mana di setiap sudut kota demi penaklukan pikiran-pikaran masyarakat (silent majority).
Tidak disangkal lagi calon presiden, partai dan para kandidat bergaya seolah-olah mereka adalah rezim kebenaran penafsiran atas realitas, masalah dan sebagainya. Inilah kegilaan.
Wacana normaliasasi juga akan senantiasa muncul dari setiap calon yang bermasalah. Sehingga dengan normalisasi kandidat yang bermasalah, kelompok atau masyarakat tertentu yang dinggap potensial dalam menggoyang stabilitas kandidat tidak lagi mendapatkan tempat sebagai subyek politik.