Ia kemudian bergerilya dari Solo hingga Ponorogo. KH Masjkur juga sempat bergabung dengan pasukan Jenderal Soedirman.
Pada 1949, KH Masjkur mendapat tugas untuk menemui SM Kartosoewiryo yang memberontak dengan mendirikan Negara Islam Indonesia.
Saat itu, KH Masjkur tidak berhasil menemui Kartosoewiryo.
Akan tetapi, berkat pengalamannya di lapangan, KH Masjkur berhasil sedikit meredam gerakan DI/TII.
Pada April 1953, KH Masjkur yang menjabat sebagai Ketua I, diangkat sebagai Ketua Umum PBNU. Ia menggantikan Wahid Hasyim yang meninggal dunia pada April 1953.
Setelah Pemilu 1955, KH Masjkur terpilih menjadi salah satu anggota Konstituante.
Namun, ketika Konstituante dibubarkan, KH Masjkur tetap menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Royong.
KH Masjkur kemudian menjadi anggota staf biro politik Komando Tertinggi Retooling Aparatur atau Kotrar.
Setelah Presiden Soekarno lengser dan digantikan oleh Soeharto dengan Orde Barunya, KH Masjkur tetap menjadi anggota DPR.
Selain itu, KH Masjkur juga menjabat sebagai ketua Fraksi Persatuan Pembangunan.
Di masa Orde Baru, KH Masjkur termasuk tokoh yang kerap kritis terhadap pemerintahan.
Salah satunya adalah mengkritisi UU Kepartaian. Sebab, pada Orde Baru, berbagai partai dilebur menjadi 3 Partai.
KH Masjkur juga menentang program Pedoman Penghayatan dan Pengamala Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa.
Saat itu, KH Masjkur menilai bahwa P4 bikinan Soeharto telah memonopoli penafsiran Pancasila.
Setelah itu, KH Masjkur fokus pada kegiatan keagamaan dan tetap aktif dalam kepengurusan NU.
Selain itu, KH Masjkur juga menjadi ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) hingga meninggal dunia pada 18 Desember 1992.
Referensi: