KOMPAS.com - Klenteng atau kelenteng adalah tempat ibadah warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Bagi masyarakat Tionghoa, klenteng tidak hanya sebagai tempat beribadah saja, tapi juga punya peran sangat besar dalam kehidupan.
Di Indonesia, klenteng mengalami pasang-surut dalam penggunanya, karena sempat mengalami kemunduran saat masa orde baru.
Baca juga: Oei Ing Kiat, Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning
Kelenteng adalah istilah umum untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa. Sebutan "klenteng" hanya dikenal di pulau Jawa, tidak di wilayah lain di Indonesia.
Sementara di Sumatra, kebanyakan masyarakatnya menyebut klenteng pekong. Sedangkan di Kalimantan, khususnya orang Hakka yang banyak ditemukan di Pontianak dan Banjarmasin menyebut klenteng dengan istilah thai pakkung, pakkung miau atau shinmiau.
Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.
Klenteng dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng.
Hal itu sebagai persembahan kepada Kwan Im atau Dewi Kwan Im (Dewi welas asih atau Avalokitesvara bodhisatva).
Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng daripada Vihara.
Pada mulanya, klenteng adalah tempat penghormatan pada dewa atau leluhur masing-masing marga Tionghoa.
Seiring perkembangan zaman, penghormatan kepada dewa-dewi kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai klenteng yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga dan suku.
Di dalam klenteng, selain sebagai tempat beribadah, juga disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Taoisme, dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.
Baca juga: Peran Tionghoa dalam BPUPKI
Klenteng adalah sebutan umum bagi tempat ibadah orang Tionghoa sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori yang mewakili agama Taoisme, Konghucu, Buddhisme.
Adapun beberapa klenteng berdasarkan tempat beribadah:
Klenteng bagi umat yang beragama Konghucu dinamakan Miao, Kongmiao, dan Wenmiao.
Klenteng yang digunakan oleh umat Toisme biasanya disebut sebagai Gongguan.
Namun pada mulanya, nama yang digunakan bukan Gongguan. Awalnya disebut dengan Jing yang berarti damai dan She yang berarti gubuk.
Istilah Gongguan sendiri baru dipakai pada masa Dinasti Tang sekitar abad ke-7 M.
Klenteng yang digunakan oleh umat Buddha sering disebut dengan Siyuan. Siyuan sendiri memiliki arti luas sebagai tempat beribadah dan juga tempat pendidikan.
Baca juga: Oey Tjong Hauw, Tokoh Tionghoa dalam BPUPKI
Pada dasarnya banyak masyarakat yang tidak mengetahui perbedaan dari klenteng dan vihara.
Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi.
Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual.
Namun, Vihara ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok, seperti Klenteng Taikak sie di Semarang.
Referensi: