KOMPAS.com - Serat Centhini merupakan sebuah karya sastra Jawa yang digubah oleh tiga orang pujangga istana Keraton Surakarta, yakni Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan Sastradipura.
Penulisan Serat Centhini berlangsung dari tahun 1814 hingga 1823, sejak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III masih menjadi putra mahkota, hingga diangkat menjadi penguasa raja Surakarta dengan gelar Sunan Pakubuwono V.
Serat Centhini mengandung banyak informasi seputar pendidikan, sejarah, arsitektur, pengetahuan alam, agama, hingga kuliner tradisional.
Kekayaan informasi tersebut membuat Serat Centhini sering kali disebut sebagai “Ensiklopedi Kebudayaan Jawa”
Serat Centhini, yang terdiri atas 3.112 halaman, terbagi dalam 12 jilid, yang ditulis tangan pada kertas folio dengan huruf Jawa.
Salah satu pembahasan menarik yang terkandung dalam Serat Centhini adalah tentang kuliner Jawa.
Berikut ini fungsi dan filosofi makanan dalam Serat Centhini.
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono V: Raja di Balik Lahirnya Serat Centhini
Makanan dan minuman yang dibahas dalam Serat Centhini tidak hanya hidangan utama dan kudapan (jajanan pasar), tetapi juga hidangan sesaji maupun hidangan perjamuan.
Hidangan-hidangan tersebut diceritakan melalui kisah-kisah yang memuat pelajaran hidup.
Dalam Serat Centhini, makanan memiliki fungsi tertentu dan memiliki nilai filosofi tersendiri.
Secara garis besar, terdapat tiga fungsi makanan dalam Serat Centhini, yaitu:
Fungsi sosial makanan dalam Serat Centhini tampak pada masyarakat Jawa yang gemar memberikan makanan ketika "nduwe gawe" (punya hajat) atau ketika makanan dan minuman disuguhkan sebagai jamuan untuk tamu.
Biasanya, masyarakat Jawa akan memberikan jamuan makan yang lengkap ketika kedatangan tamu.
Makanan yang disuguhkan dalam menjamu tamu terbilang komplit, terdiri dari daging, sayur, buah-buahan, serta minuman.
Bahan makanan untuk perjamuan tamu tersebut biasanya diambil dari hasil kebun sendiri.