Bagi masyarakat Jawa, suguhan yang lengkap dan beragam merupakan bentuk penghormatan untuk tamu.
Baca juga: Serat Wedhatama: Pencipta, Urutan, Cuplikan Isi, dan Maknanya
Berikut ini contoh makanan tradisional dalam Serat Centhini sekaligus filosofinya.
Tumpeng Megana biasanya disajikan dalam hajatan dan sebagai pelengkap sesaji.
Sebagai pelengkap sesaji, Tumpeng Megono dihiasi taburan bawang merah dan kacang panjang yang melingkar hingga atas tumpeng. Pada bagian puncak tumpeng dihiasi cabai.
Di sekeliling tumpeng terdapat olahan tempe dan telur. Sesaji Tumpeng Megana memiliki arti tentang keberadaan manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Ubarampe dalam Tumpeng Megana diumpamakan sebagai Gunung Meru yang diputari oleh Dewa Siwa.
Kacang panjang yang mengelilingi tumpeng diibaratkan sebagai sebuah naga yang mengelilingi gunung.
Sedangkan taburan bawang merah dan cabai merah di pucuk tumpeng memiliki arti sebagai api yang menjilat ke angkasa akibat diputari oleh Dewa Siwa.
Makna serta filosofi Tumpeng Megana merupakan hasil dari tradisi dan budaya masyarakat Jawa pada zaman dulu yang mayoritas memeluk agama Hindu.
Baca juga: Sejarah Tiwul, Makanan Zaman Susah yang Naik Kasta
Dalam Serat Centhini, Sega Liwet atau Nasi Liwet yang digunakan sebagai sesaji biasanya berupa nasi putih dengan lauk serundeng.
Nasi putih dan serundeng pada Sega Liwet ditempatkan di tampah dengan dialasi daun pisang.
Sega Liwet menggambarkan kehidupan manusia ketika berusia lanjut, yang dapat dikatakan sudah mampu mengatasi cobaan atau ujian hidup, sehingga jiwanya bersih kembali.
Filosofi tersebut tergambar pada nasi putih. Sedangkan, lauk serundeng menggambarkan kesederhanaan manusia yang tidak lagi memikirkan duniawi.
Kesederhanaan ini menggambarkan bahwa manusia ketika tua akan lebih memilih berserah diri kepada Tuhan daripada mencari kesenangan duniawi.
Referensi: