Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Multatuli, Penulis Belanda yang Memihak Indonesia

Kompas.com - 16/09/2021, 10:00 WIB
Widya Lestari Ningsih,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker, seorang penulis berkebangsaan Belanda yang menyampaikan kecamannya terhadap bangsanya sendiri atas penderitaan penduduk Indonesia lewat bukunya.

Buku karya Multatuli yang menggambarkan bagaimana penderitaan rakyat Lebak Banten akibat penjajahan Belanda adalah Max Havelaar.

Berkat kritikan dalam karyanya itu, sistem tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan.

Selain itu, Multatuli dianggap sebagai salah satu penulis terhebat Belanda yang karyanya memelopori gaya tulisan baru.

Awal kehidupan

Eduard Douwes Dekker adalah anak keempat dari pasangan Engel Douwes Dekker dan Sietske Eeltjes Klein yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda.

Ketika remaja, sang ayah yang berprofesi sebagai kapten kapal, menyekolahkannya di sekolah Latin.

Setelah lulus, Douwes Dekker sempat bekerja untuk sementara waktu sebagai juru tulis di sebuah perusahaan tekstil.

Namun pada 1838, ia memilih untuk pergi ke Batavia (Jakarta) dengan menumpang salah satu kapal ayahnya.

Baca juga: Tokoh-tokoh Pelopor Politik Etis

Karier di Hindia Belanda

Eduard Douwes Dekker tiba di Batavia pada 1839. Berkat relasi ayahnya, ia diterima di deparemen akuntansi di kantor Pengawasan Keuangan Batavia.

Pada 1842, ia diangkat menjadi pengawas keuangan di Kecamatan Natal yang terletak di Sumatera Utara.

Akan tetapi, Douwes Dekker mendapatkan teguran serius hingga diberhentikan sementara karena ditemukan penyimpangan dan kerugian besar dalam kas pemerintahan.

Di tengah situasinya itu, ia sempat menulis naskah drama berjudul De Oneerbare (The Dishonorable Man).

Meski Douwes Dekker kemudian ditemukan tidak sepenuhnya bersalah, ia mengaku bahwa pekerjaan administrasi tidak cocok untuknya.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia diterima bekerja sebagai sekretaris residen di Manado dan Ambon.

Antara 1852 hingga 1855, Douwes Dekker sempat mengambil cuti dan kembali ke Belanda karena alasan kesehatan.

Namun, keuangannya semakin memburuk karena sering mengalami kekalahan di meja judi.

Douwes Dekker kembali ke Batavia pada 10 September 1855, di mana ia kemudian diangkat menjadi asisten residen Lebak, Banten.

Meski hanya menjabat asisten residen di Lebak sekitar 3 bulan (21 Januari 1856 - 4 April 1856), ia berhasil membongkar praktik eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat bumiputera.

Douwes Dekker kemudian mengirim surat kepada atasannya, dan mengungkapkan bahwa ia menentang sikap pemerintah kolonial Belanda yang mendiamkan praktik eksploitasi di tanah jajahan.

Sayangnya, usulan untuk menindak para pejabat pelaku pemerasan ditolak oleh atasannya. Ia bahkan justru diberi peringatan keras.

Kesal dengan sikap bangsanya sendiri, Douwes Dekker memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke Eropa.

Baca juga: Danudirja Setiabudi (Ernest Douwes Dekker): Kehidupan dan Perjuangan

Menulis buku Max Havelaar

Bertekad untuk mengungkap kekejaman yang ia saksikan di Lebak, Douwes Dekker mulai menulis artikel di perusahaan surat kabar di Brusel, Belgia.

Namun, artikel yang ia tulis belum berhasil mendapatkan perhatian dari para pembaca.

Barulah pada 1860, tulisanya yang terbit dalam bentuk novel satir antikolonialis berjudul Max Havelaar, menjadi terkenal.

Melalui Max Havelaar, Douwes Dekker membongkar praktik eksploitasi penguasa kolonial atas rakyat Indonesia dan menyerukan keadilan.

Buku tersebut segera menimbulkan kegemparan di Belanda, bahkan terkenal di lingkungan internasional.

Dalam karyanya itu, Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Nama pena itu berasal dari frasa Latin multa tuli, yang berarti "saya telah banyak menderita".

Nama ini dipilih karena merujuk pada dirinya sendiri dan para korban ketidakadilan yang dilihatnya di Lebak.

Akhir hidup

Setelah Max Havelaar, Douwes Dekker aktif menelurkan karya-karya satir lainnya.

Selain itu, ia juga menerbitkan puluhan tulisan, termasuk naskah drama yang membawanya menuju puncak karier sebagai seorang penulis.

Pada sekitar 1867, ia memutuskan untuk pindah ke Jerman dan menetap di Kota Ingelheim am Rhein.

Douwes Dekker tinggal di kota itu sampai akhir hayatnya pada 19 Februari 1887.

 

Referensi:

  • Makfi, Samsudar. (2019). Masa Penjajahan Kolonial. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com