Balai Pustaka adalah penerbit yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 15 Agustus 1908.
Tujuan Balai Pustaka yaitu untuk memproduksi bahan bacaan bagi sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selain itu, Balai Pustaka juga bertujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah.
Pada masa ini, kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat mulai digantikan dengan munculnya prosa (roman, novel, cerita pendek) dan puisi.
Salah satu sastrawan Angkatan Balai Pustaka adalah Abdul Muis dengan karya populernya bertajuk Salah Asuhan (1928).
Salah Asuhan dan novel Siti Nurbaya merupakan dua karya yang cukup penting pada saat itu, karena ,engangkat tentang kritik tajah terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
Baca juga: Servius Dumais Wuisan: Peran dan Perjuangannya
Pujangga Baru mulai tumbuh di Indonesia tahun 1930-an.
Munculnya Pujangga Baru sendiri sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan, terutama karya yang mengangkat nasionalisme.
Wujud sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis, dan elitis.
Pada era ini, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana.
Karyanya yang bertajuk Layar Terkembang, merupakan salah satu novel yang kerap diulas oleh para kritikus sastra Indonesia.
Masa ini, terdapat dua kelompok sastrawan Pujangga Baru yaitu:
Baca juga: Bromartani, Surat Kabar Pertama Berbahasa Jawa
Karya sastra Angkatan '45 lebih realistis dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik.
Hasil karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita mengenai perjuangan merebut kemerdekaan seperti puisi-puisi milik Chairil Anwar.
Konsep yang diangkat dalam Angakatan '45 sendiri adalah "Surat Kepercayaan Gelanggang".