Maksud dari konsep ini adalah bahwa para sastrawan Angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai dengan alam kemerdekaan dan hati nurani.
Beberapa karya populer pada masa ini adalah "Deru Campur Debu" milik Chairil Anwar tahun 1949.
Baca juga: Mengapa Belanda Mendirikan Sekolah di Indonesia?
Karya pada era '50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra bertajuk Kisah milik HB Jassin.
Ciri karya sastra dalam angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Pada angkatan ini, mulai muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra), berkonsep sastra realisme sosialis.
Adanya gerakan ini lantas menimbulkan polemik yang berkepanjngan di antara kalangan sastrawan di Indoneisa pada awal 1960-an.
Akibatnya, perkembangan sastra jadi terhenti karena masuk ke dalam politik praktis.
Angkatan '45 diputuskan berakhir tahun 1965 dengan pecahnya G30S.
Beberapa karya populer pada masa ini sebagai berikut:
Angkatan 66 ditandi dengan terbitnya Horison dipimpin oleh Mochtar Lubis.
Pada masa ini, penerbit Pustaka Jaya banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra yang dibuat oleh para sastrawan.
Beberapa tokoh lain yang tergabung dalam Angkatan '66 adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, dan lain-lain.
Ciri-ciri karya sastra Angkatan '66 sendiri ialam memiliki konsepsi Pancasila, mengangkat isu-isu politik, dan membawa kesadaran nurani manusia.
Baca juga: Mengapa Belanda Mendirikan Sekolah di Indonesia?
Pada kurun waktu tahun 1980, karya sastra di Indonesia ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol, seperti Marga T.
Selain roman percintaan, karya sastra beraliran pop juga muncul, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya yang bertajuk Lupus.