“Kemungkinan besar kami masih membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menawarkan tes ini kepada pasien secara luas,” kata Kuang.
Temuan ini tentu merupakan awal yang baik. Namun memvalidasi alat baru tersebut tentu penting dilakukan dan memerlukan lebih banyak pengujian, terutama pada populasi yang besar dan beragam.
Baca juga: 5 Makanan Bantu Kurangi Risiko Kanker
Pasalnya penelitian baru hanya menguji beberapa ratus sampel darah, sehingga tidak jelas seberapa baik temuan ini dapat diterapkan pada kelompok lain.
Para peneliti juga hanya menguji model pembelajaran mesin pada orang yang diketahui menderita kanker; mereka belum menguji kegunaannya sebagai alat diagnostik yang sebenarnya.
"Tes darah seperti ini perlu melalui uji klinis ekstensif dengan ribuan pasien dan tinjauan peraturan," ungkap Dr. Michael Cecchini, salah satu direktur program kolorektal di Pusat Kanker Gastrointestinal di Pusat Kanker Yale yang tidak terlibat dalam penelitian.
Meski demikian potensi alat ini besar. Dengan pengembangan lebih lanjut, secara teoritis itu dapat digunakan untuk mendeteksi dini jenis kanker atau penyakit lain atau memantau perkembangan penyakit pada pasien yang sudah terdiagnosis.
Pada tahun 2030, para ilmuwan memperkirakan bahwa sekitar 75 persen kematian akibat kanker akan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, di mana masyarakat menghadapi hambatan yang sangat besar terhadap layanan medis.
Alat baru ini harapannya dapat meningkatkan akses diagnosis kanker di daerah terpencil dengan sumber daya terbatas.
Baca juga: Ahli Kembangkan Kecerdasan Buatan untuk Deteksi Kanker Payudara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.