Oleh: Agus Haryono
Apa yang mendorong para pemuda dari berbagai daerah, pada tanggal 27-28 Oktober 1928, berkumpul untuk menyatakan sumpah bersama?
Saya membayangkan, mereka datang ke Jakarta tidak dengan kemudahan akomodasi dan transportasi, tidak mendapatkan SPPD apalagi uang saku. Semua atas biaya dan kesadaran sendiri.
Lebih dari itu, mereka pun ikhlas mengorbankan ego etnisitas dan identitas masing-masing.
Baca juga: Sebanyak 30 Peneliti Indonesia Jalani Program Kepemimpinan Ilmuwan, Siapa Saja?
Sepertinya kalau bukan atas idealisme untuk melakukan perjuangan bersama demi kemerdekaan bangsa, peristiwa itu tidak akan terjadi.
Yang menjadi pertanyaan adalah seberapa tersisa sekarang ini, semangat kebersamaan dan pikiran kolektif itu pada jiwa para pemuda periset kita?
Tentu saja dengan perkembangan dan waktu pasti ada pergeseran nilai dan orientasi tentang makna nasionalisme.
Mungkin hari ini akan terasa naif atau lebay bila kita mendengar lagi kata-kata seperti ini “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang.” Wright or wrong is my country.
Lagipula, bukan nasionalisme seperti itu yang diharapkan oleh para pendiri bangsa kita.
Misalnya seperti ucapan Bung Karno berikut, “Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit; ia bukanlah nasionalisme yang timbul dari pada kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme yang lebar,--nasionalisme yang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwayat; ia bukanlah jingo-nationalism atau chauvinism, dan bukanlah suatu copie atau tiruan dari pada nasionalisme Barat." (Di Bawah Bendera Revoluis I: hal. 76).
Aktualisasi nasionalisme pada hari ini adalah dengan semangat berkarya untuk membawa bangsa lebih mandiri dan sejahtera yang disebut dengan etos nasionalisme.
Dalam ranah riset, misalnya berapa orang periset kita yang sanggup dua hari dua malam tidak tidur, karena menyelesaikan riset seperti dilakukan oleh Steve Jobs dan Elon Musk.
Mereka bekerja bukan di tengah kecukupan dana dan kelengkapan fasilitas laboratorium. Jobs dan Elon juga tidak mendapatkan honorarium dari setiap kegiatan risetnya.
Beberapa kisah heroisme para periset saya saksikan sendiri di lembaga riset tempat saya bekerja.
Pulang studi dari luar negeri dengan menggondol PhD, tidak disambut meriah sebagaimana para periset di Thailand atau Vietnam, akan tetapi sering disambut oleh para koleganya dengan sinisme “welcome to the jungle”, artinya selamat datang dan terjun bebas di hutan belantara riset Indonesia tanpa fasilitas dan insentif yang memadai.