Akan tetapi itu semua tidak dijadikan penghalang, malah ada yang bekerja produktif di laboratorium dengan fasilitas yang serba terbatas.
Baca juga: BRIN sebagai Ruang Kolektif Riset dan Inovasi Indonesia
Periset yang seperti ini biasanya sudah memiliki visi yang jelas dengan risetnya, mereka tidak memiliki jam kerja dan hari kerja, bila sedang mengejar target, maka tidak jarang pulang ke rumah lewat tengah malam.
Perjuangan sampai hasil risetnya matang (proven), siap untuk dipabrikasi atau industrialisasi bisa memakan waktu belasan tahun.
Capaian mereka bukan saja menjadi capaian lembaga, tetapi dikembangkan dan diterapkan sendiri dengan mendirikan perusahaan pemula.
Mereka seakan tidak peduli dengan hiruk pikuk yang tengah terjadi pada lembaga riset, melainkan tetap fokus pada riset dan produk, bukan pada masalah-masalah administratif yang memusingkan.
Tidak banyak, dan memang tidak perlu banyak, peneliti militan seperti ini.
Dengan memiliki 10 persen saja dari jumlah periset, sesuai dengan prinsip Pareto, sudah bisa mewarnai lembaga riset, sebagai lembaga yang dipercaya oleh negara, masyarakat, dan dunia usaha.
Sejatinya perjuangan yang paling berat dari para periset adalah menumbuhkan etos nasionalisme untuk melawan kebodohan dan rasa malas.
Kadang saya percaya dengan isi dari pidato kebudayaan Mochtar Lubis yang mengemukakan, bahwa salah satu karakteristik pribumi adalah malas.
Malas karena dininabobokan oleh kekayaan alam, sehingga ada istilah kutukan keberlimpahan. Lebih baik beli dari pada membuat sendiri.
Penyakit kronis lainnya yang bisa membunuh bangsa ini adalah kurang memiliki tekad yang kuat, tidak sabar, dan inkonsistensi.
Soft-skill ternyata tidak kalah urgennya dengan hard-skill. Kepintaran tanpa kesabaran tidak akan membuahkan hasil yang baik.
Mungkin dunia masih gelap gulita bila Thomas Alva Edison tidak sabar dengan ribuan kali kegagalannya.
Space-X tidak akan bisa mencapai bulan, bila Elon cepat putus asa dan tidak sabar dalam menghadapi berbagai macam halangan, baik dana, teknis, maupun birokrasi.
Revolusi mental, sebagaimana menjadi program prioritas pemerintah, urgent dilakukan di Indonesia, termasuk untuk dunia riset dan inovasi.
Baca juga: Riset dan Inovasi sebagai Sebuah Perjalanan, Bukan Suatu Tujuan