Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jepang Harus Kaji Ulang Teknologi Batu Bara Bersih karena Tak Sesuai Target Net Zero Karbon

Kompas.com - 24/02/2022, 12:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jepang dikabarkan sedang menghadapi jalan buntu dalam mencapai net zero karbon energi fosil, karena penelitian terbaru menunjukkan bahwa teknologi 'batu bara bersih' Jepang terbukti lebih mahal dan tinggi emisi dibanding energi terbarukan.

Lembaga riset perubahan iklim _Transition Zero_ dalam laporan terbarunya berjudul _Coal-de-sac: Advanced Coal in Japan, menemukan bahwa teknologi ‘batu bara bersih’ yang sedang gencar dipromosikan di Jepang terbukti lima kali lipat lebih tinggi emisinya dibanding skenario emisi nol karbon (NZE) yang dikeluarkan International Energy Agency (IEA) untuk 2030.

Teknologi tersebut juga terbukti lebih mahal dibandingkan dengan energi terbarukan dan dapat menghambat upaya dekarbonisasi dan komitmen nol-emisi Jepang.

Baca juga: Pilihan Alternatif Batu Bara sebagai Sumber Energi

Teknologi 'batu bara bersih'

Endang Suarna dari Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, Badan Pengkajian Penerapan Teknologi menyebutkan, berdasarkan dampak lingkungan emisi gas buang dari penggunaan batubara, dan tidak terhindarnya pemanfaatan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, penerapan teknologi pengurangan emisi polutan dari penggunaan batubara tersebut perlu dipertimbangkan.

Teknologi tersebut biasa disebut sebagai teknologi-teknologi batu bara bersih atau Clean Coal Technologies (CCT).

Teknologi tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat proses produksi energi pada saat penerapannya, yang meliputi teknologi-teknologi precombustion; combustion; dan post-combustion; serta coal conversion.

Dalam precombustion technologies, sulfur dan semua kotoran bahan pencemar dibuang sebelum batu bara dibakar.

Pada combustion technologies, tehnik-tehnik yang menerapkan pencegahan terjadinya emisi polutan dalam boiler ketika sedang terjadinya proses pembakaran.

Sementara itu postcombustion technologies, gas buang yang ke luar dari boiler diberi perlakuan untuk dikurangi kandungan polutannya.

Terakhir, coal conversion, yaitu pengubahan batu bara ke dalam bentuk gas atau cair yang dapat dibersihkan dan dipergunakan sebagai bahan bakar.

Namun, dalam perjalanannya terkait penelitian teknologi ini, ada beberapa hal yang membuat pemerintah Jepang harus mengkaji ulang mengenai penggunaan teknologi ulang 'batu bara bersih'.

1. Perbandingan harga 'batu bara bersih' dan energi terbarukan

Untuk mengetahui perbandingan harga, analisa Level Cost of Electricity (LCOE) digunakan oleh Transition Zero dalam laporan tersebut.

LCOE untuk teknologi ‘batu bara bersih’ (clean coal) berada di kisaran 128 USD/MWh untuk penggunaan coal-based integrated gasification combined cycle (IGCC) hingga 296 USD/MWh untuk co-firing menggunakan green ammonia.

Rata-rata biaya sendiri berada di angka 200 USD/MWh, dua kali lipat lebih tinggi dari proyek surya fotovoltaik (PV).

Pada tahun 2020, harga proyek PV surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) onshore sudah cukup bersaing dibanding teknologi ‘batu bara bersih’ tersebut.

Peneliti di TranstionZero, Jacqueline Tao mengatakan, tren ini sendiri diproyeksikan akan berlanjut dan pada 2030, proyek surva PV dan PLTB onshore dengan kekuatan penyimpanan baterai akan mengalahkan semua teknologi ‘batu bara bersih’ dan batu bara sendiri.

“Dukungan Jepang terhadap teknologi ‘batu bara bersih’ akan menghambat upaya keterjangkauan energi, dekarbonisasi, dan keamanan energi. Sebaik - baiknya, teknologi ini akan mencapai target pengurangan emisi yang kecil. Seburuk - buruknya, mereka akan memperpanjang  umur PLTU batu bara yang tinggi emisi,” kata Jacqueline Tao dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (17/2/2022).

Jika dibandingkan, kata dia, laporan ini menyebutkan bahwa energi terbarukan seperti surya dan angin secara biaya lebih kompetitif dan ramah lingkungan. Serta, hal ini dapat digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mencapai target nol emisinya.

Proyeksi untuk energi terbarukan pada tahun 2030 seperti dipaparkan di atas dan investasi untuk PLTB dapat membuka peluang ekonomi baru untuk Jepang.

Baca juga: Listrik 10 Juta Pelanggan Terancam Padam akibat Defisit Batu Bara, Mungkinkah Dialihkan ke Energi Terbarukan?

 

2. Tidak sejalan target zero-carbon

Selain permasalahan harga, teknologi ini juga dinilai tidak sejalan dengan target nol-karbon (zero-carbon) Jepang.

Teknologi canggih ‘batu bara bersih’ lain yang didorong oleh pembuat kebijakan Jepang, yaitu, carbon capture storage (CCS), juga tidak efektif.

Disebutkan bahw CCS terlihat sebagai solusi yang paling masuk akal untuk permasalahan Jepang.

Namun, dengan minimnya ruang penyimpanan geologis sang negeri samurai, keberadaan batu bara dalam bauran energi nasional Jepang bukanlah hal yang masuk akal.

Kapasitas penyimpanan karbon Jepang kemungkinan besar akan habis dalam 10 tahun kedepan.

Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan

3. Eksperimen yang gagal

Teknologi IGCC juga dicap sebagai ‘eksperimen gagal.’ Hal ini terjadi akibat biaya proyek - proyek IGCC terdahulu selalu melambung tinggi dari perkiraan dan anggaran awal.

IGCC sendiri harus digabung dengan teknologi CCS dan tetap tidak banyak membantu dalam pengurangan emisi. Sampai saat ini, belum ada pembangkit listrik IGCC dengan CCS yang beroperasi.

4. Tidak bisa dekarbonisasi energi

Matt Gray, peneliti di TranstionZero mengatakan, pihaknya mendesak pemerintah jepang untuk mengkaji ulang peran teknologi 'batu bara bersih' seperti co-firing ammonia dan IGCC, karena mereka tidak dapat memberikan dampak yang signifikan dalam upaya dekarbonisasi energi.

Sebagai informasi, dekarbonisasi adalah proses penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah bagi lingkungan

Walau CCS dapat menjadi teknologi penting untuk mengdekarbonisasi sektor industri berat, keterbatasan kapabilitas penyimpanan karbon Jepang harus digunakan untuk sektor tersebut, bukan untuk pembangkit listrik.

“Dikarenakan lebih matangnya energi terbarukan, baik secara biaya maupun secara emisi yang rendah, kami menyarankan pemerintah Jepang untuk berpindah haluan dan berinvestasi pada PLTB yang dapat membuka potensi ekonomi baru bagi Jepang untuk jangka panjang,” jelas Matt.

Baca juga: 6 Manfaat Batu Bara Bagi Kehidupan Manusia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com