Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Orang Ragu Terhadap Vaksin Covid-19, Kenapa Bisa Terjadi?

Kompas.com - 22/12/2020, 13:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa kandidat vaksin Covid-19 dengan tingkat kemanan dan keefektifan yang tinggi mulai muncul di akhir tahun 2020.

Sejumlah negara pun telah mengeluarkan izin penggunaan darurat (EUA) pemakaian vaksin. Namun di sisi lain, masih ada kelompok antivaksin atau masyarakat yang ragu untuk disuntik vaksin.

Bukan hanya saat ini saja fenomena seperti ini muncul. Dari berbagai literatur hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh sejumlah jurnal internasional terakreditasi disebutkan bahwa keraguan (hesitancy) dan penolakan (refusal) terhadap vaksin sudah menjadi fenomena yang ditemukan jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Baca juga: Apakah Hidup Berubah Setelah Vaksin Covid-19 Tersedia?

Artinya, keraguan dan bahkan penolakan terhadap vaksin bukan hanya terjadi terhadap vaksin Covid-19 saja.

Menurut Dr. Endang Mariani, M.Psi. pengamat dan praktisi Psikososial dan Budaya, Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, fenomena ini merupakan suatu reaksi yang wajar.

Ini mengingat pandemi Covid-19 yang ditimbulkan oleh virus corona SARS-CoV-2 ini masih baru dan vaksin yang akan diberikan tentunya masih baru. Beberapa vaksin bahkan masih dalam fase penelitian dan uji coba.

Kendati demikian, sebagian besar kalangan medis dan WHO meyakini bahwa vaksin merupakan satu solusi yang diharapkan mampu menjadi upaya preventif maupun mitigasi untuk mencegah, memutus, ataupun paling tidak memperlambat proses transmisi dan penularan suatu penyakit, termasuk Covid-19.

"Sebagai perbandingan, dari hasil pengisian Joint Reporting Form yang dilakukan oleh WHO dan UNICEF tahun 2015-2017, lebih dari 90 persen negara melaporkan adanya keraguan terhadap vaksin," kata Endang yang juga menjadi Koordinator Psikologi Bidang Medis Tim Koordinator Relawan Nasional Satgas Penanganan Covid-19.

"Temuan ini tentunya bukan tanpa makna, dan perlu dicari faktor penyebabnya," katanya kepada Kompas.com dalam penjelasan tertulis.

Bagaimana dengan Vaksin Covid-19?

Dari berbagai penelitian di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, China dan juga di Indonesia, ditemukan bahwa sebagian besar masyarakatnya (rata-rata berkisar antara lebih dari 50-60 persenan) bersedia di vaksin.

Petugas mengecek kontainer berisi vaksin COVID-19 saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (6/12/2020). Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Sinovac, China, tiba di tanah air untuk selanjutnya akan diproses lebih lanjut ke Bio Farma selaku BUMN produsen vaksin.ANTARA FOTO/DHEMAS REVIYANTO Petugas mengecek kontainer berisi vaksin COVID-19 saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (6/12/2020). Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi Sinovac, China, tiba di tanah air untuk selanjutnya akan diproses lebih lanjut ke Bio Farma selaku BUMN produsen vaksin.

"Namun (mau divaksin) dengan catatan, sudah ada rekomendasi dari health care providers, keamanan vaksin terjamin, tidak membahayakan kesehatan, efek samping baik jangka pendek apalagi jangka panjang sudah terbukti tidak ada atau sangat minimal, efektivitas vaksin telah teruji berdasarkan bukti klinis, kecenderungan politik mendukung, kehalalan vaksin terjamin, akses untuk memperoleh vaksin dengan biaya terjangkau tersedia," ujar Endang.

Psikolog yang juga menjadi associate researcher Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi UI berkata, hal ini tak lepas dari peran media sosial dalam menyebarkan informasi tentang vaksin Covid-19.

Baca juga: Vaksin Covid-19 Gratis, Penggunaannya Tunggu Izin BPOM dan Sertifikasi Halal MUI

"Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kelompok anti-vaksin yang terus menyebarkan berita, yang beberapa di antaranya adalah informasi hoaks yang tidak bisa dipercaya kebenarannya," ujarnya.

Sejumlah opini dibentuk, antara lain tentang bahaya vaksin baru ini, terutama menyangkut efek samping jangka panjang yang belum berbasis bukti hingga terkesan terburu-buru.

Pasalnya memang untuk bisa merilis sebuah vaksin biasanya butuh peneliitan serta uji coba selama bertahun-tahun dan bahkan membutuhkan waktu hingga lebih dari satu dekade.

Pendapat lain adalah keraguan yang muncul akibat informasi tentang tingkat efektivitas yang hanya berkisar antara 50-60 persen, sementara uji coba ataupun uji klinis, masih terus berlangsung.

"Adanya konspirasi politik dengan tujuan tertentu, hanya untuk kepentingan bisnis, adanya pelanggaran hak kebebasan publik apabila terjadi 'pemaksaan' untuk wajib divaksin, dan lain sebagainya, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi tingkat keyakinan masyarakat untuk mau divaksin," ujar Endang.

Dia melanjutkan, tentunya apa yang disampaikan kelompok anti vaksin ini juga memiliki alasan dan latar belakang.

Kanada telah mendapatkan cukup vaksin untuk memvaksinasi seluruh penduduknya sebanyak lima kali.REUTERS via BBC INDONESIA Kanada telah mendapatkan cukup vaksin untuk memvaksinasi seluruh penduduknya sebanyak lima kali.

Di sisi lain, kelompok pro-vaksin juga gencar menyampaikan pentingnya vaksin Covid-19 sebagai solusi untuk menghentikan pandemi Covid-19.

Keberhasilan uji klinis terhadap vaksin Covid-19 dengan tingkat efektivitas dan keamanan tinggi, dengan efek samping yang tidak membahayakan kesehatan, terus disampaikan kepada publik.

Oleh karena itu, untuk bisa meminimalisir keragu-raguan dan penolakan terhadap vaksin, sehingga target minimal 70 persen masyarakat mau divaksin secara lengkap untuk dapat menciptakan herd immunity atau kekebalan komunal.

Caranya dengan sosialisasi dan edukasi yang masif dan tepat sasaran, secara terus menerus, sehingga yang terbentuk adalah kesadaran dan bukan pemaksaaan.

"Masyarakat harus ikut dilibatkan untuk menentukan jalan keluar terbaik bagi persoalan besar yang juga berdampak pada kehidupan mereka," kata perempuan yang juga menjadi pengajar paruh waktu di FISIP UI itu.

Lepas dari itu semua, upaya menghadirkan vaksin di tengah pandemi, menurut Endang, merupakan sebuah harapan di tengah ketidakpastian yang berkepanjangan tentang kapan pandemi ini berakhir.

Vaksin Covid-19 mungkin merupakan salah satu alternatif solusi untuk menghentikan pandemi yang telah menghancurkan berbagai sendi kehidupan manusia.

Namun vaksin tentunya bukan satu-satunya senjata untuk memerangi Covid-19.

Baca juga: WHO: Banyak Negara Asia Pasifik Terima Vaksin Pertengahan hingga Akhir 2021

Dari pengalaman dan berbagai penelitian yang telah dilakukan, salah satunya oleh University of the Sciences in Philadelphia dan Eurofins Lancaster Laboratories Inc, Malvern, Philadelphia di Amerika Serikat menyebutkan bahwa intervensi farmakologis tidak akan berhasil tanpa intervensi non-farmakologis.

"Di sinilah peran ilmu-ilmu sosial dan perilaku, seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan komunikasi menjadi sangat penting," kata Endang.

"Adaptasi kebiasaan dan norma baru dan perubahan perilaku sosial, seperti disiplin menerapkan protokol kesehatan secara ketat, tepat dan benar (proper), serta tetap menjaga imunitas tubuh adalah kunci agar terhindar dari kemungkinan terpapar virus penyebab CoVID-19."

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com