Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keluarga Suspek Covid-19 Pukul Petugas hingga Pingsan, Apa Solusinya?

Kompas.com - 23/07/2020, 17:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Empat orang petugas gugus tugas Covid-19 Palangkaraya, dianiaya pihak keluarga yang tak terima jenazah dimakamkan sesuai protokol Covid-19.

Petugas pemakaman dari Muhammadiyah Disaster Manajemen Center (MDMC) di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dipukul keluarga suspek (sebelumnya disebut pasien dalam pengawasan) Covid-19 yang hendak dimakamkan.

Pemukulan ini terjadi pada hari ini, Selasa (21/7/2020) sekitar 15.00 WIB, di Taman Pemakaman Umum Islam Jalan Tjilik Riwut, Palangkaraya.

Ketua MDMC Kota Palangkaraya, Aprie Husin Rahu, mengatakan pemukulan terjadi saat jenazah suspek Covid-19 sudah dimasukkan ke liang lahad dan mulai menimbun.

Akibat pemukulan itu, petugas mengalami sejumlah luka lebam di wajah dan ada satu petugas yang pingsan.

Kepada polisi, pelaku penganiayaan yang berjumlah lima orang mengaku tak terima jenazah keluarganya dimakamkan dengan protokol Covid-19.

Baca juga: Keluarga Suspek Covid-19 Pukul Petugas hingga Pingsan, Ini Penjelasan Sosiolog

Kasus seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Sebelum-sebelumnya banyak diberitakan pihak keluarga tak terima jenazah orang terkasih dimakamkan sesuai protokol Covid-19.

Apa solusi dari permasalaha ini?

Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menilai bahwa permasalahan ini muncul karena ada perbedaan persepsi.

Bagong menjelaskan, petugas gugus tugas Covid-19 yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap selalu menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam menjalankan tugasnya.

Di sisi lain, keluarga yang meninggal karena Covid-19 merupakan bagian orang yang disayangi dan dihormati.

"Jadi dua cara pandang ini yang bertolak belakang. Titik temunya belum ada. Sehingga dari pihak keluarga pasti muncul resistensi jika anggota keluarganya diperlakukan seperti benda atau seperti ada ancaman berbahaya (karena petugas corona menerapkan protokol kesehatan). Sementara petugas (gugus Covid-19) yang mengenakan APD kan lebih berpikir ke protokol medisnya," terangnya kepada Kompas.com.

Dua cara pandang yang berbeda inilah, yang akhirnya memicu konflik seperti yang terjadi di Palangkaraya.

Menurut Bagong, warga lokal yang memiliki otoritas moral memiliki pengaruh untuk bisa menjembatani kedua persepsi yang saling berlawanan ini.

"Jadi melibatkan tokoh masyarakat. Dan ini akan mengeliminasi salah paham," ungkap Bagong.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com