Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keluarga Suspek Covid-19 Pukul Petugas hingga Pingsan, Apa Solusinya?

KOMPAS.com - Empat orang petugas gugus tugas Covid-19 Palangkaraya, dianiaya pihak keluarga yang tak terima jenazah dimakamkan sesuai protokol Covid-19.

Petugas pemakaman dari Muhammadiyah Disaster Manajemen Center (MDMC) di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dipukul keluarga suspek (sebelumnya disebut pasien dalam pengawasan) Covid-19 yang hendak dimakamkan.

Pemukulan ini terjadi pada hari ini, Selasa (21/7/2020) sekitar 15.00 WIB, di Taman Pemakaman Umum Islam Jalan Tjilik Riwut, Palangkaraya.

Ketua MDMC Kota Palangkaraya, Aprie Husin Rahu, mengatakan pemukulan terjadi saat jenazah suspek Covid-19 sudah dimasukkan ke liang lahad dan mulai menimbun.

Akibat pemukulan itu, petugas mengalami sejumlah luka lebam di wajah dan ada satu petugas yang pingsan.

Kepada polisi, pelaku penganiayaan yang berjumlah lima orang mengaku tak terima jenazah keluarganya dimakamkan dengan protokol Covid-19.

Kasus seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Sebelum-sebelumnya banyak diberitakan pihak keluarga tak terima jenazah orang terkasih dimakamkan sesuai protokol Covid-19.

Apa solusi dari permasalaha ini?

Guru Besar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menilai bahwa permasalahan ini muncul karena ada perbedaan persepsi.

Bagong menjelaskan, petugas gugus tugas Covid-19 yang mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap selalu menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam menjalankan tugasnya.

Di sisi lain, keluarga yang meninggal karena Covid-19 merupakan bagian orang yang disayangi dan dihormati.

"Jadi dua cara pandang ini yang bertolak belakang. Titik temunya belum ada. Sehingga dari pihak keluarga pasti muncul resistensi jika anggota keluarganya diperlakukan seperti benda atau seperti ada ancaman berbahaya (karena petugas corona menerapkan protokol kesehatan). Sementara petugas (gugus Covid-19) yang mengenakan APD kan lebih berpikir ke protokol medisnya," terangnya kepada Kompas.com.

Dua cara pandang yang berbeda inilah, yang akhirnya memicu konflik seperti yang terjadi di Palangkaraya.

Menurut Bagong, warga lokal yang memiliki otoritas moral memiliki pengaruh untuk bisa menjembatani kedua persepsi yang saling berlawanan ini.

"Jadi melibatkan tokoh masyarakat. Dan ini akan mengeliminasi salah paham," ungkap Bagong.

"Karena protokol pemakaman pasien Covid-19 juga beradu dengan waktu, hanya maksimal dua jam harus segera dimakamkan, sementara keluarga mungkin ingin memberikan penghormatan terakhir, saya kira ini perlu dijembatani oleh tokoh masyarakat," imbuhnya.

Bagong mengatakan, hal ini tidak hanya dilakukan oleh perangkat desa, tetapi juga bisa dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat.

Senada dengan Bagong, dosen sosiologi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Siti Zunariyah juga menyampaikan hal yang mirip.

Siti menerangkan, untuk memahami penyakit Covid-19 di masyarakat, dalam ilmu sosiologi ada yang namanya pertarungan pengetahuan atau kontestasi wacana.

"Siapa yang memproduksi wacana, siapa yang membangun wacana ini tentang penyakit (Covid-19), dan siapa yang memenangkan (wacana) itu di masyarakat yang kemudian menguasai cara kita mengambil tindakan," ungkap Siti saat dihubungi Kompas.com, Kamis (23/7/2020).

Dari hal tersebut, Siti menyampaikan, masyarakat tidak cukup jika hanya diberikan literasi yang benar terkait penyakit Covid-19.

"Perangkat desa seperti RT, RW, saya kira perlu digerakkan, agar masyarakat tidak menerima informasi secara liar melalui media sosial yang mereka punya tanpa ada peran negara untuk mengedukasi dengan baik," jelas Siti.

Siti menyampaikan, perangkat pemerintahan yang paling bawah dan bersinggungan langsung dengan masyarakat memiliki tugas untuk bergerak memberikan informasi yang benar tentang penyakit Covid-19.

"Optimalkan dana desa, dana kelurahan. Tidak hanya untuk bagi vitamin dan buat tempat cuci tangan, tapi edukasi itu yang penting," tuturnya.

Menurut Siti, edukasi ini penting bukan hanya untuk saat ini tapi di masa depan. Pasalnya, tidak ada pandemi Covid-19 akan berakhir sampai kapan dan tidak ada yang tahu apakah di masa depan akan ada pandemi serupa.

Sebab itu, investasi edukasi disebut Siti merupakan upaya paling efektif untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi pandemi.

Dia menambahkan, tak hanya perangkat desa atau tokoh masyarakat saja yang dapat menjadi jembatan dan mengedukasi orang lain.

Kita semua merupakan agen-agen yang dapat menjembatani permasalahan ini. Hal ini bisa dimulai dengan menyebarkan informasi dan pengetahuan akurat yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya kepada orang lain.

Selain itu, Siti mengatakan bahwa kasus seperti di Palangkaraya merupakan buah dari informasi hoaks yang akhirnya mengubah cara pikir dan tindakan manusia.

Oleh karena itu, diperlukan tindakan tegas untuk menangani informasi yang menyesatkan atau hoaks.

"Saya kira, pada posisi seperti ini negara boleh mengambil tindakan-tindakan yang tegas. Karena bisa jadi (berita hoaks) bisa merugikan atau bahkan memicu konflik horisontal antar masyarakat," tegasnya.

https://www.kompas.com/sains/read/2020/07/23/170000723/keluarga-suspek-covid-19-pukul-petugas-hingga-pingsan-apa-solusinya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke