Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli: Semua Orang di Jepang Akan Bernama "Sato" dalam 500 Tahun Mendatang

Kompas.com - 06/04/2024, 09:00 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

KOMPAS.com - Di semua budaya, selalu ada beberapa nama yang lebih populer dibandingkan nama lain. Namun, di Jepang, hal ini mungkin mencapai level yang baru karena adanya keharusan menggunakan nama yang sama.

Hiroshi Yoshida, profesor ekonomi di Tohoku University, melakukan simulasi terkait satu nama tertentu, yakni Sato, yang bisa menjadi semakin populer di Jepang.

Meskipun penelitian ini tidak sepenuhnya serius karena dimaksudkan untuk berkampanye menentang undang-undang nama, penelitian ini menunjukkan ketika satu nama keluarga bisa sangat mendominasi.

Negara dengan hanya satu nama

Di Jepang, pasangan suami istri harus mempunyai nama keluarga yang sama. Secara teori, pasangan boleh menggunakan nama mana pun, namun dalam praktiknya, lebih dari 95 persen pasangan menggunakan nama keluarga laki-laki.

Seiring dengan tren demografi Jepang, kebijakan ini berkontribusi pada dominasi nama keluarga tertentu, seperti Sato. Simulasi Yoshida memprediksi bahwa jika tren saat ini terus tidak terkendali, sebagian besar penduduk Jepang akan memiliki nama keluarga yang sama.

Baca juga: Studi Ungkap Gajah Bisa Membuat Nama Panggilan untuk Teman-temannya

Saat ini, 1,6 persen orang di Jepang dipanggil “Sato”, dan angka tersebut bisa terus bertambah. Studi Yoshida dimulai dari dua tahun terakhir, kumpulan data yang sangat terbatas, dan memproyeksikan yang akan terjadi di masa depan jika tren saat ini terus berlanjut. Menurut model penelitian ini, pada tahun 2446, lebih dari separuh orang Jepang akan memiliki nama keluarga yang sama.

Penting untuk dicatat bahwa dalam budaya Jepang, menyebut orang dengan nama keluarga merupakan hal yang khas dan sopan. Jadi, pada tahun 2531, semua orang akan dipanggil “Sato”.

Tentu saja, ini bukan perhitungan yang komprehensif. Imigrasi dan banyak aspek sosial lainnya dapat terlibat dan mengubah angka tersebut.

Penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat setempat akan dampak dari undang-undang yang mewajibkan pasangan untuk memiliki nama keluarga yang sama.

Selain iru, ada juga peringatan yang jelas dalam penelitian ini. Tidak seperti nama tertentu, yang popularitasnya naik dan turun, nama keluarga bersifat “lebih melekat”. Jadi, begitu seseorang memilikinya, ia akan "terjebak" dengan nama tersebut.

Baca juga: Jepang Jadi Negara Kelima yang Mendarat di Bulan

Selain mengarah pada situasi sosial yang aneh, Yoshida juga melihat masalah lain, yakni sejarah nama keluarga lain akan terhapus dalam proses ini. Mengingat nama keluarga memiliki sejarah keluarga juga merupakan simbol budaya, hilangnya nama tersebut berarti sejarah nama keluarga juga tidak akan ada lagi.

Menurut Yoshida, mengganti nama merupakan hal yang terpisah dari menikah dan tinggal bersama pasangan. Ia menegaskan, jika lebih menghargai individualitas, seharusnya tidak ada keharusan untuk mengubah nama setelah menikah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com