Seandainya pilkada dilaksanakan tahun 2021, maka pada saat ini kita dapat benar-benar fokus pada penanggulangan bantuan Covid-19.
Baca juga: Hikmah Ramadhan: Akhlak Terpuji sebagai Jati Diri
Bawaslu sendiri telah melakukan pencegahan dengan mengeluarkan Surat Edaran yang melarang agar tidak ada kampanye terselubung saat membagikan bantuan penanggulangan bencana Covid-19. Surat itu ditujukan kepara pemerintah daerah dan partai politik.
Sampai di sini dinamika elektoral terus berkembang. Potensi pelanggaran berusaha dicegah bersamaan dengan kontestasi dan tarik menarik kepentingan lainnya. Padahal ada masalah lain yang juga menunggu yang berkenaan dengan perempuan dan politik.
Tantangan partisipasi politik perempuan
Pemerintahan akan kuat saat ada legitimasi oleh publik. Semakin banyak partisipasi, maka kian kuat pemerintahan.
Untuk itulah, partisipasi yang tinggi akan menjadi kabar baik. Partisipasi rendah akan menjadi kabar buruk. Pertanyaannya, bagaimana kemungkinan partisipasi politik di tengah pandemi?
Mari kita jawab dengan data. Yohan Wahyu dari Litbang Kompas saat mengisi Tadarus Pengawasan Pemilu Bawaslu RI menyampaikan bahwa publik sebenarnya lebih sepakat pilkada ditunda pada tahun 2021.
Bayang-bayang kekhawatiran tetang Covid-19 yang cepat menyebar menjadi salah satu alasan publik.
Survei dari Litbang Kompas juga menemukan bahwa penundaan pilkada akan memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi. Sebanyak 44 persen responden melihat ada pengaruh terhadap partisipasi.
Tentu saja, yang harus kita garisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak cukup hanya dilihat pada saat memasuki bilik suara. Tetapi juga saat tahapan akan dijalankan.
Tidak mungkin ada pencoblosan di bilik suara tanpa ada pemutakhiran data pemilih. Di sini Litbang Kompas menemukan bahwa 15 persen pemilih tidak akan menemui petugas pendataan pilkada karena khawatir terhadap corona.
Kita tentu berharap bahwa Covid-19 selesai. Minimal bulan Juni kita sudah bisa hidup normal. Kita perlu juga melihat bahwa ada sejumlah masalah psikologis pascapandemi.
Di tengah bayang-bayang kecemasan, tertekan, dan depresi selama pandemi, kita patut menduga bahwa publik akan cenderung apatis terhadap perhelatan pilkada tahun 2020.
Lagi-lagi kita perlu melihat sisi perempuan sebagai kelompok rentan dalam konteks dinamika politik elektoral. Saya melihat bahwa perempuan akan menjadi yang paling terdampak.
Berbulan-bulan kita seperti tahanan rumah, bisa jadi akan menjadi salah satu pendorong munculnya apatisme untuk terlibat dalam politik elektoral. Ditambah lagi kepungan informasi yang menakutkan tentang Covid-19.